Daftar Pasal UU ITE yang Dinilai Ancam Kebebasan Pers

Kamis, 11 Maret 2021 | 10:43 WIB
Daftar Pasal UU ITE yang Dinilai Ancam Kebebasan Pers
Ilustrasi Tower Telekomunikasi [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin, menyoroti sejumlah pasal yang ada di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurutnya, ada beberapa pasal yang sekiranya bisa mengancam kebebasan pers.

"Meskipun UU ITE diklaim tidak menyasar Pers, namun nyatanya terdapat banyak kasus wartawan yang dijerat dengan UU kontroversial ini, bahkan hingga divonis bersalah oleh Hakim,” kata Ade dalam rilis yang diterima, Kamis (11/3/2021).

Ade melanjutkan, kebebasan pers merupakan salah satu pilar penting sebuah negara hukum dan demokrasi. Oleh karena itu, perlindungannya harus dituangkan dalam peraturan perundang–undangan yang berlaku.

"Kenyataannya, tidak semua ketentuan dalam peraturan perundang–undangan benar–benar melindungi media pers dan wartawan. Masih ada beberapa ketentuan yang justru mengancam dan bahkan menggerus hak atas kebebasan pers, salah satunya UU ITE," tutur Ade.

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Sesalkan Revisi UU ITE Tak Masuk Prolegnas 2021

Berikut beberapa pasal UU ITE yang diklaim mengancam kebebasan pers:

Pasal 26 Ayat 3 tentang penghapusan informasi elektronik

Pasal ini dinilai bertabrakan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik serta sejumlah peraturan perundang-undangan lain, yang menjamin hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi.

Ilustrasi depresi (Pixabay)
Ilustrasi depresi (Pixabay)

Menurut Ade, ketidakjelasan rumusan “informasi yang tidak relevan” dapat digunakan untuk melanggengkan fenomena impunitas kejahatan dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korupsi, atau kekerasan seksual.

Selain itu, pasal ini juga membuka peluang bagi pelaku termasuk pejabat publik untuk mengajukan penghapusan informasi tersebut, termasuk informasi yang diproduksi media pers.

Baca Juga: Minta Revisi UU ITE Ditimbang, BIN: Indonesia Paling Tak Sopan di Internet

Kemudian, frasa “penetapan pengadilan” menjadi masalah tersendiri karena mencerminkan asas voluntair.

Sementara imbas penghapusan menimpa minimal dua pihak sekaligus, yakni pribadi dan pengendali data dalam hal ini disebut Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), termasuk media.

"Dengan demikian, secara substansi pasal ini sudah bermasalah dan dapat digunakan untuk kepentingan yang semangatnya jauh dari penghormatan terhadap hak asasi manusia," kata Ade.

Pasal 27 Ayat 3 dan 45 Ayat 3 tentang Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan

Menurut Ade, pasal ini menambah risiko kriminalisasi terhadap wartawan yang melakukan kerja jurnalistik dengan tuduhan pencemaran dan penghinaan.

Sebab, rumusan pasal yang luas sehingga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online, tidak terkecuali pada wartawan.

"Meskipun dalam penjelasan telah dirujuk ke Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, namun dalam praktik seringkali diabaikan sebab unsur “penghinaan” masih terdapat di dalam pasal," katanya.

Pasal 28 Ayat 2 dan 45A ayat 2 tentang Ujaran Kebencian

Pasal ini ditujukan sebagai tindak pidana tentang propaganda kebencian. Namun pasal tersebut justru menyasar kelompok, individu, dan pers yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah.

Ilustrasi simbol ujaran kebencian pada keyboard komputer (Shutterstock).
Ilustrasi simbol ujaran kebencian pada keyboard komputer (Shutterstock).

Pasal ini juga kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden. Padahal, pasal terkait penghinaan Presiden telah dihapus Mahkamah Konstitusi karena dianggap inkonstitusional.

"Mestinya pasal ini untuk melindungi masyarakat dari propaganda kebencian terhadap suku, agama, ras dan antar golongan. Namun karena sangat lenturnya pasal, wartawan yang kritis bisa dianggap menyebarkan ujaran kebencian terhadap kelompok-kelompok tertentu," tuturnya.

Pasal 36

Pasal ini menambah ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 27 sampai 34 UU ITE menjadi 12 tahun, jika menimbulkan kerugian. Keberadaan ketentuan ini berpotensi memperberat ancaman pidana sehingga memenuhi unsur untuk dilakukan penahanan.

Pasal 40 ayat 2b tentang Pemblokiran

Ilustrasi pemblokiran situs oleh ISP. [Shutterstock]
Ilustrasi pemblokiran situs. [Shutterstock]

Ade menyatakan, kewenangan mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas sesuai dengan due process of law. Kewenangan yang besar tanpa sistem kontrol dan pengawasan membuat kebijakan blokir internet berpotensi sewenang-wenang.

Untuk itu, LBH Pers dan AJI Indonesia merekomendasikan Pemerintah dan DPR untuk segera melakukan revisi menyeluruh pada UU ITE, tidak sebatas penghinaan, pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, sebagai berikut:

  1.  Mencabut pasal 26 ayat 3 UU ITE dan dipindahkan ke dalam RUU Perlindungan Data Pribadi yang saat ini sedang di bahas oleh DPR.
  2. Mencabut pasal-pasal bermasalah seperti Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran atau penghinaan, Pasa 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian, Pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan, Pasal 29 tentang menakut nakuti yang ditujukan secara pribadi, dan Pasal 36 tentang pemberatan pidana yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
  3. Melakukan revisi pada pasal 40 ayat 2a dan 2b dengan memasukan secara jelas mekanisme due process of law.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI