Koalisi Masyarakat Sipil Sesalkan Revisi UU ITE Tak Masuk Prolegnas 2021

Kamis, 11 Maret 2021 | 06:00 WIB
Koalisi Masyarakat Sipil Sesalkan Revisi UU ITE Tak Masuk Prolegnas 2021
Ilustrasi kejahatan siber. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Koalisi Masyarakat Sipil menyesalkan tidak masuknya Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021.

Mereka menduga pemerintah dan DPR tidak serius ingin melakukan revisi UU ITE.

"Koalisi meminta masyarakat tidak surut mendorong revisi total UU ITE karena ini prioritas penting untuk memperbaiki sistem hukum pidana dan siber di Indonesia, serta menegakkan keadilan," kata Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto dalam keterangannya, Rabu (10/3).

Padahal pada Selasa (9/3/2021) kemarin, sejumlah anggota Koalisi Masyarakat Sipil telah memenuhi undangan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) untuk memberi masukan kepada Tim Kajian Revisi UU ITE.

Baca Juga: Staf Ahli Kominfo: UU ITE Bukan Kitab Suci, Layak Direvisi

Koalisi juga meminta tim yang dikepalai Sigit Purnomo, merevisi total UU ITE.

Damar menyampaikan, pembuktian ketidakadilan UU ITE bisa ditemukan dengan mudah oleh Tim Kajian Revisi UU ITE. Ketidakadilan dan ketidakpastian pun masih terjadi sampai hari ini.

Ia juga menceritakan kasus UU ITE yang kini ditangani SAFEnet. Beberapa waktu lalu, mereka baru saja mendampingi dua orang korban ketidakadilan akibat UU ITE dari Tiku V Jorong Sumatera Barat, yaitu Andi Putera dan Ardiman. Keduanya harus berhadapan dengan Ketua KAN yang telah merampas hak-hak warga.

"UU ITE justru menjerat mereka berdua yang menggunakan media sosial untuk mendapatkan keadilan dengan pasal ujaran kebencian. Pendekatan restorative justice yang dikumandangkan Kapolri Listyo Sigit tidak berjalan di Polda Sumbar," papar Damar.

Damar juga menjelaskan bahwa pemerintah sebaiknya tidak berhenti pada membuat pedoman interpretasi UU ITE saja.

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Meminta UU ITE Direvisi Total

Tetapi mereka harus merevisi total sembilan pasal bermasalah agar UU ITE menjadi Undang-undang, yang lebih baik dalam mengatur kehidupan warga dengan kepastian hukum dan berkeadilan.

Senada dengan Damar, Jane Tedjaseputra selaku Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) memberi perhatian khusus pada keberadaan pasal 28 ayat 2 UU ITE.

Kemudian, Erasmus Napitupulu selaku Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), menekankan apa saja pokok permasalahan pasal demi pasal di dalam UU ITE yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan multi-tafsir.

“Sulit untuk mengatakan persoalan utama UU ITE tidak pada perumusan delik-deliknya, khususnya untuk tindak pidana-tindak pidana konvensional yg ditarik masuk ke dalam UU ITE (cyber-enabled crime), seperti Pasal 27 (1), 27 (3), dan 28 (2) UU ITE beserta pemberatan ancaman pidana mencapai 12 tahun yg diatur dalam pasal 36 jo 51(2) UU ITE," kata Erasmus.

"Tumpang tindih pengaturan, ketidaksesuaian unsur pidana, dan ancaman pidana tinggi menjadi masalah utama. Untuk itu, ICJR menyampaikan jalan utama adalah melakukan Revisi terhadap UU ITE,” pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI