Suara.com - Para ilmuwan mencoba mengembangkan otak seukuran biji wijen yang dibuat dari campuran gen manusia dan Neanderthal di laboratorium University of California, San Diego.
Pertanyaan mengenai bagaimana manusia berevolusi untuk memiliki otak yang begitu besar dan kompleks telah menjadi misteri bagi para ahli.
Salah satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan membandingkan gen manusia modern, dengan gen Neanderthal (sepupu manusia modern yang punah sekitar 37.000 tahun lalu) dalam pengembangan otak.
Meskipun para ilmuwan pernah menemukan sisa-sisa fosil dari Neanderthal, para ahli belum menemukan otak Neanderthal yang diawetkan.
Baca Juga: Ilmuwan Deteksi Struktur Tersembunyi di Dalam Inti Bumi
Oleh karena itu, tim peneliti mengembangkan "minibrains" di dalam cawan petri.
Beberapa otak tumbuh menggunakan gen manusia standar dan yang lainnya diubah menggunakan alat pengeditan gen CRISPR agar gen perkembangan otak diambil dari sisa-sisa Neanderthal.
Ini bukan pertama kalinya otak kecil ditumbuhkan untuk penelitian, tetapi ini adalah pertama kalinya para ilmuwan membudidayakan hibrida organ manusia dengan sepupu manusia purba.
Secara khusus, para peneliti mengganti gen NOVA1 manusia di beberapa sel induk yang digunakan untuk menumbuhkan minibrains dengan gen NOVA1 yang disatukan dari sisa-sisa genetik di tulang Neanderthal yang telah lama mati.
Gen NOVA1 sendiri sangat berperan dalam perkembangan otak manusia.
Baca Juga: Ini yang Akan Terjadi Jika Orang Terinfeksi Dua Strain Covid-19 Sekaligus
"Perbedaan antara otak manusia sepenuhnya dan hibrida manusia-Neanderthal segera terlihat," kata Alysson Muotri, ahli saraf di University of California yang memimpin penelitian ini, seperti dikutip dari Live Science, Senin (8/3/2021).
Menurut Muotri, minibrains manusia cenderung berbentuk bola halus, seperti kelereng kecil.
Sementara otak Neanderthal lebih kecil dan lebih tidak teratur. Otak tersebut juga butuh waktu lebih lama untuk berkembang.
Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa minibrains bagian Neanderthal lebih kacau, dalam aktivitas saraf dan menghasilkan rangkaian protein yang berbeda daripada otak manusia.
Moutri dan timnya memilih NOVA1 untuk eksperimen karena berperan dalam membentuk koneksi antar saraf.
Karena kerusakan pada gen ini dapat menyebabkan gangguan neurologis, itu menjadikannya target utama studi bagi para peneliti yang berharap dapat memahami otak.
Gen Neanderthal NOVA1 juga relatif mudah untuk disintesis. Hanya satu huruf dalam kode genetiknya yang berbeda dengan varian manusia.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature pada 12 Februari ini, juga melaporkan bahwa perbedaan tersebut menunjukkan otak Neanderthal matang lebih cepat daripada otak manusia, membuat Neanderthal lebih cakap pada usia lebih muda.