Kewajiban Kerja Sama OTT dan Operator Telko Punya Aturan, Ini Kata Mastel

Dythia Novianty Suara.Com
Minggu, 31 Januari 2021 | 10:00 WIB
Kewajiban Kerja Sama OTT dan Operator Telko Punya Aturan, Ini Kata Mastel
Ilustrasi perangkat teknologi telekomunikasi (Shutterstock).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kewajiban kerja sama Over The Top (OTT) global dengan operator telekomunikasi nasional kini memiliki aturan. Tentu saja hal ini direspon Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel).

Aturan berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) turunan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Menurut Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono, di dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi maupun PP Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, memang belum mengatur secara spesifik model bisnis OTT global di wilayah Indonesia.

"Karena saat itu memang belum ada OTT. Oleh karena itu, saat inilah kesempatan dan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk menegaskan hal tersebut dalam draft RPP Cipta Kerja Bidang Postelsiar. Sehingga semua OTT harus mematuhi ketentuan tersebut," ujar Kristiono, dalam keterangan resminya.

Baca Juga: Demi Pemerataan Jaringan, Pemerintah Diharapkan Beri Dana Insentif

Logo Kominfo. [Kominfo]
Logo Kominfo. [Kominfo]

Padahal, menurutnya sesuai definisi telekomunikasi dalam UU Nomor 36 tahun 1999, OTT termasuk dalam pengertian jasa telekomunikasi.

Sehingga penyelenggara OTT dapat dikategorikan sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi yang wajib bekerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi.

Dengan adanya PP yang mengatur model bisnis OTT global, Kristiono menyebut, pemerintah telah menegakkan kedaulatan negara di ranah siber atau digital.

Terlebih, OTT sudah menikmati sangat banyak manfaat ekonomi dari penggunanya yang sangat banyak di Indonesia, tanpa berkontribusi kepada negara.

"Selama ini OTT sudah beroperasi di Indonesia tapi seolah tanpa tersentuh aturan. Sehingga seolah-olah tidak punya kewajiban apa-apa terhadap negara," katanya.

Baca Juga: Reaksi Mastel soal Wacana Tarif Batas Atas dan Bawah Operator Seluler

Jadi, dia menambahkan, OTT wajib bekerjasama dengan operator Telko nasional.

"Pemerintah harus menegaskan hal tersebut melalui RPP Turunan Cipta Kerja di sektor telekomunikasi," tegas Kristiono.

Sementara itu, Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Nasional Mastel, Nonot Harsono menilai, perlunya pengaturan yang lebih jelas tentang keberadaan pemain OTT global.

Ia menilai, kalau OTT tidak segera diatur maka semakin banyak mudaratnya bagi negara dan juga industri telekomunikasi nasional.

"Setiap pihak asing menapakkan jangkauan bisnisnya di wilayah Indonesia, amat lazim mereka meminta izin kepada Pemerintah Indonesia ketika hendak menawarkan akses layanan atau mengambil manfaat dari wilayah orang lain," ujar Nonot.

Tower telekomunikasi. [Pixabay]
Tower telekomunikasi. [Pixabay]

Menurutnya, Presiden Joko Widodo juga sudah memberi arahan yang tegas dan jelas tentang pentingnya kedaulatan digital yang harus tanpa kompromi dan harus memberi manfaat besar bagi Indonesia.

Di sisi lain, para raksasa platform OTT yang tengah bersaing memperebutkan pasar pengguna aplikasi global yang mereka miliki, akan berusaha keras meyakinkan para penentu kebijakan tertinggi di Indonesia dan negara lainnya untuk tidak mengatur internet atau untuk tidak mengatur kehidupan online warga negaranya.

"Biasanya mereka berdalih 'biarkan internet bebas agar rakyat bebas berinovasi dan mengekspresikan diri'. Padahal, Pemerintah Indonesia berusaha keras merangkul para raksasa ini agar menjadi objek pajak Indonesia melalui paket pengaturan dari Menteri Keuangan. Contohnya seperti pajak transaksi online di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 dan aturan lainnya," jelasnya.

Agar negara bisa mendapatkan manfaat pembayaran pajak dari OTT, Mastel mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika, untuk bersinergi dengan Kementerian Keuangan.

Langkah tersebut diambil untuk melaksanakan arahan Presiden Joko Widodo dengan mengupayakan aturan pelaksanaan kerja sama, antara platform aplikasi/OTT global dengan penyelenggara jaringan nasional/domestik.

"Tukang pulsa saja mau dikenai PPN dan PPH, masa OTT asing yang mendapat triliunan rupiah dari masyarakat Indonesia dibiarkan tidak ada berkontribusi ke negara. Bahkan tidak mau permisi mengurus izin, membangun kantor di Indonesia, tidak melaporkan perolehan pendapatan dari wilayah NKRI," tegas Nonot.

Ia memaparkan kondisi yang terjadi di industri telekomunikasi saat ini adalah para raksasa OTT menekan keras operator jaringan nasional dengan kekuatannya.

Tanpa adanya regulasi yang mengatur bisnis OTT, maka pemerintah akan kesulitan menjalankan tugasnya sebagai penengah.

Apalagi sejak akhir 2019 lalu, Mastel mengendus para raksasa OTT berniat membangun jaringan kabel optik sendiri agar bisa meninggalkan para operator.

Ilustrasi internet bawah laut. [Shutterstock]
Ilustrasi internet. [Shutterstock]

"Artinya pada waktu yang tidak lama lagi, platform/OTT ini akan punya jaringan sendiri dan akan mendisrupsi industri telekomunikasi. Apakah harus menunggu industri telko mati, baru mulai berpikir? Atau bahkan membiarkan platform/OTT global itu menguasai semuanya dengan dalih hukum alam yang liberal?" tanya Nonot.

Ia menegaskan, jika OTT tidak segera diatur, dalam jangka panjang akan banyak operator telekomunikasi lokal tidak dapat bersaing dengan OTT global dan ‘gulung tikar’.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI