Alih-alih studi Aktipis itu menemukan bahwa tubuh perempuan berevolusi untuk menyembunyikan ciri-ciri fisik saat sedang subur agar tidak terlihat oleh perempuan lain. Ini disebut sebagai female rivalry hypothesis.
Studi itu menemukan bahwa perempuan yang menyembunyikan tanda-tanda kesuburan dari perempuan lain akan lebih sukses di tengah masyarakat: mereka punya lebih banyak keturunan, terhindar dari konflik dengan perempuan lain, dan lebih berhasil dalam menjalin hubungan dengan lelaki.
"Studi kami ini menunjukkan pentingnya pergeseran pemikiran tentang evolusi pada perempuan. Respons perempuan terhadap tekanan evolusi dan bentuk adaptasi lainnya bukan hanya soal untuk mendapatkan lelaki," ujar Aktipis.
Kesimpulan dalam studi ini diperoleh melalui analisis komputasional bernama agent-based computational models.
Dalam model komputasional ini setiap individu diwakili oleh satu agen, yang perilakunya bisa diprogram serta dianalisis. Setiap agen memiliki seperangkat aturan dan bisa berinteraksi dengan agen lain dan dengan lingkungannya.
Dua hipotesis
Dalam model komputer untuk menguji female rivalry hypothesis, agen-agen lelaki dan perempuan berinteraksi sesuai aturan yang mengatur pergerakan, perilaku reproduksi, serta perilaku yang berkaitan dengan daya tarik.
Agen lelaki, misalnya, terbagi atas yang sering berganti pasangan dan yang setia pada satu perempuan. Yang setia akan terlibat membesarkan keturunan. Sementara agen perempuan terdiri dari yang menunjukkan ciri fisik saat ovulasi dan yang menyamarkan perubahan tubuh saat masa subur.
Agen-agen perempuan bisa saling menyerang satu sama lain dan bekerja sama. Sementara agen perempuan dan lelaki bisa berinteraksi, serta bisa berhubungan untuk menjadi pasangan.
Hasilnya menunjukkan bahwa perempuan yang tak menunjukkan perubahan fisik saat ovulasi akan lebih sukses dalam masyarakat.