Suara.com - Venesia dikenal sebagai Kota Apung karena memiliki ratusan kanal berliku. Kota yang terletak di Italia ini telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia dari UNESCO. Sayang, kota bernuansa lawas itu terancam diubah akibat dampak dari perubahan iklim.
Saat ini, Venesia tengah dilanda banjir. Panel Antarpemerintah PBB tentang Perubahan Iklim baru-baru ini melaporkan bahwa selama 30 tahun ke depan, banjir di Venesia akan meningkat.
Laut Adriatik naik beberapa milimeter setiap tahun, banjir besar yang terjadi setiap 100 tahun diperkirakan akan terjadi setiap enam tahun pada 2050 dan setiap lima bulan pada 2100.
Erin Seekamp, Profesor Manajemen Taman, Rekreasi dan Pariwisata dari North Carolina State University, membantu pengelola warisan membuat keputusan dengan memprioritaskan situs mana yang akan "diselamatkan" ketika dana, waktu, atau keduanya terbatas.
Baca Juga: Rencana Joe Biden Paling Progresif Buat Tangani Kenaikan Suhu Bumi
Selain Venesia, situs budaya di seluruh dunia yang tak terhitung banyaknya telah mengalami banjir akibat badai, erosi, dan genangan air laut yang naik.
Para ahli pelestarian budaya di seluruh dunia sepakat bahwa tidak mungkin melindungi semua tempat tersebut selamanya. Banyak yang membutuhkan pemulihan terus-menerus dan situs lainnya akan membutuhkan pertahanan seperti tembok laut, tetapi pertahan seperti itu mungkin tidak efektif untuk waktu yang lama.
Beberapa situs dapat dilindungi dengan cara yang dapat mengubah bentuk aslinya, seperti meninggikan atau memindahkan bangunan, membiarkannya rusak, atau dipindahkan dari lanskap.
Langkah-langkah tersebut melampaui restorasi, yang dapat bertentangan dengan mandat untuk melestarikan situs dan bangunan untuk selamanya.
Sebelumnya, hal ini pernah terjadi pada 1999 ketika erosi tanpa henti dari garis pantai Carolina Utara, memaksa National Park Service untuk memindahkan Cape Hatteras Lighthouse dan Keeper's Quarters sekitar setengah mil ke pedalaman.
Baca Juga: Perubahan Iklim Bisa Sebabkan Berbagai Penyakit, Salah Satunya Kanker
Merelokasi bangunan pertengahan abad ke-19 tersebut menghabiskan biaya 11,8 juta dolar AS dan memicu perdebatan bagaimana menangani bangunan bersejarah yang terancam punah.
Kemudian pada 2015, para manajer di Cape Lookout National Seashore Carolina Utara menyadari bahwa bangunan di Portsmouth Village dan Cape Lookout Village, dua distrik bersejarah maritim, terancam oleh banjir terkait badai dan naiknya air laut.
Portsmouth Village, yang dibangun pada 1753, berfungsi sebagai kota pelabuhan yang berkembang selama pemukiman kolonial. Sementara Cape Lookout Village memberikan dukungan navigasi dengan pembangunan mercusuar pada 1812 yang diganti pada 1859.
Bangunan-bangunan ini masuk ke dalam Daftar Tempat Bersejarah Nasional, yang mengharuskan pengelola melestarikannya selamanya. Tetapi para pejabat tidak yakin tentang bangunan bersejarah mana yang harus diselamatkan terlebih dahulu jika ada bencana.
Para ahli juga harus mengidentifikasi strategi, seperti memindahkan bangunan yang akan memaksimalkan signifikansi yang dipertahankan di seluruh lanskap taman.
Profesor Seekamp mengembangkan proses untuk mengukur signifikansi relatif dari bangunan bersejarah. Ia dan timnya kemudian membuat alat perencanaan untuk membantu manajer National Park Service membuat keputusan yang hemat biaya.
Model yang dibuat tim Seekamp mengumpulkan data tentang signifikansi dan kerentanan setiap bangunan. Ini mengevaluasi biaya adaptasi, seperti meninggikan atau merelokasi bangunan, memberikan dana yang tersedia, dan memetakan strategi yang mungkin selama periode 30 tahun.
Saat timnya menguji model pada 17 bangunan Cape Lookout yang rawan banjir, Seekamp menemukan bahwa strategi terbaik adalah mengangkatnya pada tempatnya atau memindahkannya ke tempat yang lebih tinggi dan kemudian mengangkatnya.
Namun menurut pendapat penduduk setempat, mengubah lokasi atau tampilan bangunan ini tidak disambut baik oleh beberapa mantan penghuni dan keturunannya.
Banyak penduduk memiliki hubungan yang dalam dengan tempat-tempat tersebut yang merupakan bagian dari identitas pribadi, keluarga, dan komunitas. Bahkan beberapa penduduk mengatakan, lebih memilih kehilangan sebagian dari bangunan daripada mengubahnya.
Temuan ini mendorong Seekamp untuk mengeksplorasi pendekatan global yang berpusat pada masyarakat untuk pelestarian dan kebijakan internasional yang mengaturnya.
Dilansir dari Science Alert, Senin (16/11/2020), perubahan iklim mengancam banyak situs Warisan Dunia. Beberapa adalah situs arkeologi, seperti Peru's Chan Chan, kota adobe terbesar di Bumi, dan tempat tinggal leluhur di tebing Pueblo di Taman Nasional Mesa Verde Colorado.
Seluruh kota, termasuk Venesia dan bangunan bersejarah seperti Gedung Opera Sydney di Australia juga berada dalam bahaya.
Rekomendasi kebijakan saat ini berfokus pada restorasi atau pertahanan dan menentang perubahan fisik. Namun, saat ini parah ahli hanya melakukan proses penambahan daftar situs yang mengalami perubahan fisik ke Daftar Situs Warisan Dunia dalam Bahaya.
Cara tersebut dapat mengurangi pendapatan pariwisata dan menghalangi penyandang dana untuk mendukung upaya penyelamatan.
Seekamp pun melihat adanya kebutuhan akan kategori baru, yaitu Situs Warisan Dunia dalam Transformasi Iklim. Kategori ini akan memungkinkan para manajer untuk memperbaiki, menyesuaikan, atau bahkan mengubah tempat-tempat yang rentan.
Mengubah situs warisan mungkin akan mengundang kontroversi, tetapi menurut Seekamp, menyelamatkan situs budaya dan bersejarah dari perubahan iklim membutuhkan pendekatan baru untuk pelestarian warisan yang mencakup transformasi.