Fosil Kerang Ini Ungkap Penyebab Kepunahan Massal 252 Juta Tahun Lalu

Jum'at, 23 Oktober 2020 | 13:05 WIB
Fosil Kerang Ini Ungkap Penyebab Kepunahan Massal 252 Juta Tahun Lalu
Fosil kerang. [Wikipedia]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pada akhir Periode Permian sekitar 252 juta tahun lalu, Bumi mengalami kepunahan massal terbesar yang dikenal dengan The Great Dying.

Sekarang para ilmuwan membuat rekonstruksi paling rinci tentang penyebab dan bagaimana peristiwa itu terjadi, menggunakan fosil cangkang brakiopoda (bivalvia yang mirip dengan kerang modern).

Menurut beberapa perkiraan, 96 persen dari semua spesies laut dan dua pertiga vertebrata darat punah pada akhir Periode Permian.

Sebagian besar para ilmuwan yang telah mempelajari peristiwa tersebut mengatakan bahwa letusan dahsyat dari aktivitas vulkanik di Siberia menjadi penyebabnya.

Baca Juga: Misteri Serangga Keji Berbaju Besi Tahan Dilindas Mobil Terungkap

Perubahan atmosfer. [Nature.com]
Perubahan atmosfer. [Nature.com]

Letusan itu memompa cukup banyak gas ke atmosfer untuk mengubah iklim dan kimiawi lautan. Namun, beberapa ahli percaya bahwa peristiwa itu disebabkan oleh tabrakan asteroid atau mikroba.

Untuk mempelajari lebih lanjut, Dr Hana Jurikova dari GEOMAR Helmholtz Centre for Ocean Research menggunakan cangkang brakiopoda untuk melacak keasaman laut di periode tersebut.

"Ini adalah organisme mirip kerang yang telah ada di Bumi selama lebih dari 500 juta tahun," kata Jurikova, seperti dikutip IFL Science, Jumat (23/10/2020).

Sampel yang diambil Jurikova termasuk brakiopoda diawetkan dengan baik, dari Alpen selatan sebelum dan selama fase pertama kepunahan. Isotop boron di cangkang menunjukkan keasaman lautan pada saat itu, sebuah metode yang baru-baru ini mulai memberikan pengetahuan tentang kondisi iklim masa lalu.

Menurut Jurikova, cangkang tersebut "tidak bahagia seperti kerang" karena menurunnya tingkat pH membuat kehidupan organisme pembentuk cangkang menjadi sangat sulit.

Baca Juga: Dunia Sedang Uji Coba Vaksin COVID-19 Tahap 3, Siapa Terdepan?

Dikarenakan peningkatan keasaman adalah hasil dari karbon dioksida yang terlarut dan mencerminkan perubahan atmosfer, Jurikova dan timnya juga dapat memperkirakan dampak iklim.

Dalam laporan Nature Geoscience, para ahli menghitung bahwa karbon dioksida di atmosfer mencapai puncaknya pada 4.400 bagian per juta dan menghangatkan Bumi hampir 10 derajat Celcius.

Selain kondisi panas yang memusnahkan sebagian besar tumbuhan dan hewan darat, perubahan atmosfer juga mempercepat pelapukan. Ini menghasilkan versi ganggang raksasa yang digerakkan oleh pupuk di seluruh dunia, menyebabkan penurunan oksigen secara drastis.

Erupsi gunung, hujan abu vulkanik. (Pixabay)
Erupsi gunung, hujan abu vulkanik. (Pixabay)

Para penulis penelitian mencatat jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer saat itu, jauh melebihi pembakaran di semua reservoir bahan bakar fosil. Namun, itu terjadi selama puluhan ribu tahun dan tingkat tahunan setidaknya 14 kali lebih rendah dari emisi manusia saat ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI