Suara.com - Campuran obat antivirus yang biasanya digunakan untuk mengobati HIV, tidak memiliki khasiat bagi pasien Covid-19 rawat inap. Studi itu memastikan hasil awal uji coba acak berskala besar pada obat tersebut.
Ilmuwan Inggris yang melakukan uji coba Recovery di Universitas Oxford pada Juni lalu mengatakan, hasil sementara secara pasti mengesampingkan manfaat yang berarti dari lopinavir-ritonavir dalam menurunkan kematian di kalangan pasien rawat inap.
Dalam jurnal medis The Lancet, para ilmuwan mengatakan bahwa 23 persen dari mereka yang diberi obat tersebut meninggal dalam 28 hari sejak awal pengobatan, dibandingkan dengan 22 persen yang diberikan pengobatan biasa.
Obat tersebut juga tidak mengurangi durasi rawat inap di rumah sakit atau kemungkinan untuk menggunakan ventilator.
Baca Juga: Bahaya! Puluhan Mamali Disebut Rentan Tertular Covid-19
"Hasil dari uji coba ini membuktikan bahwa itu bukanlah obat manjur untuk pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit," kata Profesor Martin Landray dari Nuffield Department of Population Health, Universitas Oxford, yang memimpin uji coba Recovery, dilansir laman Antara, Rabu (7/10/2020).
Kaletra buatan AbbVie merupakan campuran obat lopinavir dan ritonavir, yang digunakan secara bersamaan untuk mengobati HIV. Perusahaan telah meningkatkan pasokan obat tersebut sambil menentukan apakah dapat digunakan untuk mengobati Covid-19.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Juli lalu, menghentikan uji coba lopinavir-ritonavir setelah terbukti tidak mengurangi angka kematian.
Uji coba Recovery terhadap lopinavir-ritonavir melibatkan 1.616 pasien yang mendapatkan obat tersebut dan 3.424 menerima perawatan biasa.
Penelitian pada Recovery yang bermarkas di Oxford telah menguji keampuhan berbagai calon obat Covid-19, yang melibat 13.000 pasien secara keseluruhan.
Baca Juga: Sel Otak Utuh Ditemukan pada Tengkorak Manusia Berusia 2.000 Tahun
Uji coba yang mempelajari deksametason, steroid, menunjukkan bahwa obat tersebut mengurangi tingkat kematian pasien yang membutuhkan oksigen.
Pengujian lainnya menemukan bahwa obat malaria hydroxychloroquine, yang digembar-gemborkan oleh Presiden AS Donald Trump, tak berkhasiat untuk pengobatan.