Sementara menurut Bruce Riedel dari lembaga think tank Brookings Institution dari Amerika Serikat, informasi soal uranium itu menunjukkan agresivitas Arab Saudi untuk memenuhi syarat-syarat awal untuk mengembangkan energi maupun senjata nuklir.
Faktor putra mahkota
Dunia, termasuk Amerika Serikat, mulai risau dengan ambisi senjata nuklir Saudi setelah Putra Mahkota Mohammed bin Salman pada 2018 lalu mengatakan bahwa kerajaan itu akan mengembangkan senjata nuklir jika rivalnya Iran memiliki senjata pemusnah massal tersebut.
Yang terutama membuat dunia risau adalah karena Arab Saudi tidak transparan. Dalam kesepakatan dengan Badan Energi Nuklir Internasional (IAEA) pada 2005, Saudi menolak untuk mengizinkan lembaga tersebut memeriksa seluruh program nuklirnya.
IAEA sendiri terus meminta Saudi untuk membuka diri, tetapi Riyads sejauh ini selalu menolak.
"Kami sedang dalam pembicaraan dengan mereka. Sejauh ini mereka tertarik untuk mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai," kata kepala IAEA, Rafael Grossi pada awal pekan ini ketika ditanya soal program nuklir Saudi.
Dalam laporan di Agustus lalu, WSJ mewartakan bahwa Saudi dengan bantuan China telah membangun fasilitas yang bisa mengubah uranium menjadi yellowcake di gurun dekat kota Al Ula.
Adapun Arab Saudi telah membantah laporan tentang fasilitas tersebut. Tetapi Kementerian Energi Saudi mengakui bahwa pihaknya menggandeng China untuk mengeksplorasi uranium di wilayahnya.
Baca Juga: UEA dan Bahrain Damai dengan Israel, Arab Saudi Tegaskan Bela Palestina