Kondisi tersebut juga meningkatkan harga pada rantai pasok pangan .
Jauh sebelum krisis kesehatan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan luas panen dan produksi padi pada 2019 menurun dibandingkan tahun sebelumnya masing-masing sebesar 6,15 dan 7,76%.
Menurunnya produktivitas ini berpeluang mendorong Indonesia untuk bergantung pada produk impor. Sementara, kebijakan impor tidak mendukung peningkatan produktivitas dan keberlanjutan sumber daya yang tersedia.
Alih-alih meningkatkan produksi, petani mengambil cara pintas demi mempertahankan produksinya dengan pemberian pestisida untuk menghilangkan hama dan penyakit, agar mereka dapat mengurangi kejadian gagal panen. Tapi cara ini dapat menurunkan kualitas hasil panen dan mencemari lingkungan.
Indonesia perlu melakukan sinergi antara bidang pertanian, bioteknologi, dan teknologi pangan.
Manipulasi sifat tanaman secara genetika dapat menjadi strategi ampuh untuk meningkatkan produktivitas dalam negeri. Tanaman hasil PRG memiliki kemampuan tahan terhadap hama, virus, dan pestisida.
Sebagai contoh dapat kita jumpai hasil PRG seperti kentang yang dirancang untuk menghasilkan lebih sedikit akrilamida (bahan kimia penyebab kanker yang dihasilkan ketika makanan dimasak dengan api besar), padi tahan hama penggerek batang, kedelai tahan pestisida, dan golden rice yang kaya beta-karoten.
Indonesia mau tidak mau harus mengurangi ketergantungannya terhadap produk impor, meningkatkan kualitas pangan, serta pengolahan lahan yang lebih optimal.
Karena itu, kita perlu lebih banyak riset yang memperjelas baik dan buruknya pangan PRG, serta memberlakukan pengawasan yang ketat terhadap prosedur dalam produksi PRG di Indonesia. Hal-hal tersebut dapat membantu negara untuk merangkul teknologi PRG dalam negeri yang aman dikonsumsi masyarakat dan merancang dampak keberlanjutan pada sumber daya yang sudah tersedia.
Baca Juga: 750 Juta Nyamuk Mutan Bakal Dilepaskan, Ini Alasannya
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.