Suara.com - Para ahli berpendapat, rata-rata sebanyak dua penyakit baru berpindah dari hewan ke manusia setiap tahun selama seabad terakhir.
Sebagian besar ahli sekarang, setuju bahwa Covid-19 berasal dari kelelawar, meskipun masih belum tahu persis bagaimana dan kapan itu terjadi. Kemungkinan virus Corona melewati spesies perantara sebelum menginfeksi manusia.
Namun, yang diyakini para ilmuwan adalah karena penggundulan hutan meluas dan perdagangan satwa liar global merajalela, menusia lebih sering bercampur dengan hewan. Semakin banyak interaksi tersebut terjadi, semakin banyak limpahan zoonosis yang akan dilihat.
Menurut Peter Daszak, Presiden EcoHealth Alliance, mengatakan bahwa koleganya menemukan 1 hingga 7 juta orang terpapar virus zoonosis di Asia Tenggara setiap tahun. Saat ini, tiga dari setiap empat penyakit menular yang muncul berasal dari hewan.
Baca Juga: Ditutup 5 Bulan, Kereta Bawah Tanah India Sudah Beroperasi Kembali
"Kita akan menghadapi lebih banyak penyakit ini. Saya tidak dapat memberi tahu kapan dan saya tidak dapat memberi tahu seberapa buruk itu akan terjadi. Beberapa akan menjadi mengerikan, beberapa tidak terlalu buruk. Yang dapat kami katakan dengan jelas adalah tren ini terus berlanjut," kata Stuart Pimm, ahli biologi di Duke University.
Pada Juli, Pimm dan beberapa ahli lain menghitung dalam sebuah makalah bahwa para pemimpin global, dapat mencegah banyak peristiwa limpahan zoonosis dengan menghabiskan sekitar 20 miliar dolar AS per tahun untuk upaya pencegahan. Sebagai perbandingan, perkiraan biaya virus Covid-19 di seluruh dunia adalah 5 triliun dolar AS tahun ini.
Dilansir dari Business Insider, Selasa (8/9/2020), dana itu harus digunakan dengan tiga cara utama, yaitu mencegah penggundulan hutan, menegakkan perdagangan satwa liar yang aman, dan mempelajari penyakit menular yang muncul dari hewan.
Menebang hutan tropis berkontribusi pada penyebaran penyakit zoonosis karena beberapa alasan. Pertama, nyamuk pembawa penyakit tumbuh subur di daerah tropis yang memiliki sedikit pohon dan lebih banyak genangan air.
Selain itu, menebang pohon dan memindahkan orang ke wilayah yang sebelumnya merupakan berhutan membuat manusia dan hewan liar saling berhubungan lebih dekat.
Baca Juga: Gereja Berusia 1.100 Tahun Gelar Misa di Tengah Pandemi
Dengan mendanai program yang memantau deforestasi di kawasan tropis dan menegakkan hukum bagi pembakalakan liar, dapat mengurangi deforestasi hingga 40 persen di kawasan yang paling mungkin terkena virus.
Perubahan itu dapat menurunkan jumlah penyakit baru yang masuk ke dalam populasi manusia.
Program-program seperti itu telah berhasil mengekang deforestasi sebelumnya. Di Brasil, insentif untuk melestarikan hutan dan prosedur menegakkan pembatasan penebangan mengurangi deforestasi secara signifikan antara tahun 2005 dan 2012.
Sayangnya, laju deforestasi kembali naik di sana. Pada 2019, hampir 3.800 mil persegi hutan menghilang.
Di sisi lain, para ahli yakin selain deforestasi, perdagangan hewan liar global juga memainkan peran pada berbagai wabah penyakit.
Pimm dan timnya mengatakan bahwa wabah dapat dicegah dengan jaringan pendanaan seperti Jaringan Penegakan Satwa Liar ASEAN, yang membantu lembaga penegak hukum dari berbagai negara mengoordinasikan tanggapan terhadap pasar gelap satwa liar. Dengan memberlakukan undang-undang yang lebih ketat juga dapat membuat perdagangan satwa liar legal lebih aman.
Para ahli mengusulkan pembentukan badan global baru yang dapat memantau hewan yang diperdagangkan untuk mendeteksi penyakit yang muncul.
Tak hanya itu, mempelajari bagaimana penyakit melompat dari hewan ke manusia juga dapat membantu para ilmuwan mencari cara untuk mengatasi epidemi segera setelah muncul dan berpotensi mencegah epidemi di masa depan.