Menanggapi protes itu, deputi Kepala Kantor Kesehatan Australia, Nick Coatsworth, mengatakan bahwa kekhawatiran gereja itu tak bisa diabaikan. Tetapi di saat yang sama, ia menegaskan bahwa pengembangan vaksin memang membutuhkan kultur sel.
"Sel-sel manusia sangat penting dalam pengembangan vaksin," tegas Coatsworth.
"Regulasi etis di sekitar penggunaan sel-sel manusia sangat ketat, terutama terkait sel janin manusia. Yang mengembangkan vaksin ini adalah unit penelitian di Universitas Oxford yang sangat terkemuka. Jadi menurut saya, kita bisa percaya pada cara mereka mengembangkan vaksin tersebut," imbuh dia.
Tetapi menurut Robert Booy, pakar vaksin dari University of Sidney, penggunaan sel-sel janin yang digugurkan sudah biasa dalam pengembangan vaksin selama 50 tahun terakhir.
Sebelumnya, kata Booy, gereja tak pernah mempermasalahkan ini karena ada jarak yang sangat jauh antara penggunaan sel-sel janin dengan vaksin yang sudah rampung. Ia juga mengatakan bahwa vaksin rubella, hepatitis A, dan cacar air juga menggunakan metode yang sama dalam pengembangannya.
"Sel-sel janin bisa melakukan 50 replikasi, sementara sel-sel yang lebih tua lebih sedikit replikasinya. Jadi, untuk memproduksi vaksin, virus harus dibiakkan di dalam sel janin berkali-kali dan kemudian dipanen," jelas dia.
Kelak, imbuh Booy, elemen-elemen manusianya akan dibersihkan dan yang digunakan hanya elemen virusnya saja. Artinya tidak ada DNA manusia lagi dalam vaksin yang sudah jadi.
Peraih Nobel dan imunolog Peter Doherty bahkan mengeluarkan komentar lebih pedas. Menurutnya proses pengembangan vaksin Covid-19 di Oxford sudah sesuai standar etis dan sudah lazim digunakan.
"Jika Uskup Fisher menolak vaksin ini, maka itu adalah haknya dan juga adalah hak kita untuk tidak ambil pusing dengan dia," tegas Doherty. [ABC/The Guardian]
Baca Juga: Masih Uji Klinis, Vaksin Covid-19 AstraZeneca Sudah Dipesan Australia