Dedaunan Purba Berusia 23 Juta Tahun Beri Gambaran Masa Depan Bumi

BBC Suara.Com
Senin, 24 Agustus 2020 | 20:30 WIB
Dedaunan Purba Berusia 23 Juta Tahun Beri Gambaran Masa Depan Bumi
[BBC].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Fosil dedaunan dari sisa-sisa hutan yang diperkirakan berusia 23 juta tahun menunjukkan sebagian tanaman kemungkinan beradaptasi dengan tumbuh dengan cepat karena peningkatan CO2 karbon dioksida, ungkap penelitian terbaru.

Para ilmuwan menemukan fosil daun-daun yang sangat terawat dengan baik dari sebuah danau kuno di South Island di Selandia Baru.

Temuan fosil ini memungkinkan para ilmuwan untuk pertama kalinya mengaitkan tingginya suhu pada periode itu dengan tingginya karbon dioksida di lapisan atmosfer.

Hasil penelitian terbaru ini telah dipublikasikan di jurnal Climate of the Past.

Baca Juga: Peneliti Temukan Fosil Daun Berusia 23 Juta Tahun, Seperti Apa Bentuknya?

Dalam makalah ilmiahnya, tim peneliti memperlihatkan bahwa sejumlah tumbuhan mampu memanen karbon dioksida lebih efisien untuk fotosintesis - proses biologis yang memanfaatkan cahaya matahari untuk menghasilkan makanan bagi tumbuhan tersebut.

Mereka mengatakan temuan ini kemungkinan memberikan petunjuk perihal bagaimana dinamika kehidupan tumbuhan dapat bergeser karena tingkat karbon dioksida meningkat untuk memenuhi kebutuhannya di masa lalu.

Apa yang bisa kita pelajari dari dedaunan purba ini?

Tim peneliti mengebor sedalam 100 meter untuk mendekati dasar danau yang kini telah kering. Lokasinya terletak di kawah gunung berapi yang sudah lama punah. Luas kawahnya sekitar satu kilometer.

Di sini, berbagai material biologi telah menjadi fosil, termasuk sisa-sisa tumbuhan, alga, laba-laba, kumbang, lalat, jamur, dan makhluk hidup lainnya dari sebuah periode hangat yang dikenal sebagai Zaman Miosen awal.

Diperkirakan suhu global rata-rata saat itu antara 3C dan 7C lebih tinggi ketimbang saat ini, dan sebagian besar es telah menghilang dari kutub.

Baca Juga: Fosil Terjebak Dalam Batu Purba Ditemukan di Hutan Tritik Nganjuk

Ada perdebatan di antara para ilmuwan tentang tingkat karbon dioksida pada periode tersebut. Di sinilah penelitian ini menjadi sangat menarik.

"Hal menakjubkan adalah daun-daun ini pada dasarnya adalah mumi, jadi kami memiliki komposisi kimia aslinya, dan dapat melihat semua fitur halusnya di bawah mikroskop," kata peneliti utama, Tammo Reichgelt, dari Universitas Connecticut di Storrs, Amerika Serikat.

Reichgelt mengatakan dedaunan itu diawetkan sangat sempurna sehingga pembuluh darah mikroskopis dan stomata - pori-pori yang memungkinkan daun menyerap udara dan melepaskan air selama fotosintesis - dapat terlihat.

Para ilmuwan menganalisa berbagai bentuk kimiawi karbon - atau isotop karbon - di dalam daun dari setengah lusin spesies pohon yang ditemukan di berbagai tingkat dalam endapan.

Temuan ini membantu tim peneliti untuk memperkirakan kandungan karbon pada lapisan atmosfer pada saat itu.

Mereka menyimpulkan kandungan karbonnya sekitar 450 bagian se per satu juta (part per milion/ppm).

Berbagai penelitian sebelumnya - terutama yang menggunakan organisme laut - menunjukkan bahwa kandungannya secara signifikan lebih rendah, yaitu sekitar 300 ppm.

Jumlah kandungan karbon ini mirip dengan kondisi pada masa pra-industri, dan tidak cukup untuk menjelaskan suhu yang jauh lebih tinggi pada periode Miosen awal.

Kegiatan manusia yang melepaskan gas karbon saat ini telah mendorong tingkat karbon dioksida (CO2) menjadi sekitar 415 ppm.

Pelepasan gas karbon oleh manusia ini diperkirakan akan mencapai 450 ppm dalam beberapa dekade mendatang - tingkat yang sama dialami oleh hutan di Selandia Baru 23 juta tahun lalu.

Para peneliti juga menganalisa geometri stomata pada daun-daun dan ciri-ciri anatomi lainnya, dan membandingkannya dengan keberadaan daun-daun di masa modern.

Mereka memperlihatkan bahwa pepohonan sangat efisien dalam menyedot karbon melalui stomata, tanpa membuang banyak air melalui rute yang sama - tantangan utama bagi semua tanaman.  Hal ini memungkinkan pepohonan untuk tumbuh di kawasan marginal.

Para peneliti mengatakan efisiensi yang lebih tinggi ini kemungkinan besar tercermin di kawasan hutan di garis lintang utara yang beriklim sedang, di mana lebih banyak didominasi wilayah daratan.

Apa yang diungkapkan temuan ini tentang situasi saat ini?

Ketika tingkat karbon dioksida mengalami kenaikan, banyak tumbuhan meningkatkan laju fotosintesanya, karena mereka dapat menghilangkan karbon dari udara dengan lebih efisien, dan menghemat air saat melakukannya.

Data dari satelit NASA menunjukkan efek "penghijauan global" terutama karena peningkatan kadar karbon dioksida yang dilepaskan oleh aktivitas manusia selama beberapa dekade terakhir.

Diperkirakan bahwa seperempat hingga setengah dari lahan bervegetasi di planet ini telah mengalami peningkatan volume daun pada pepohonan dan tumbuhan sejak sekitar 1980.

Efeknya diperkirakan akan terus berlanjut saat tingkat karbon dioksida (CO2) meningkat.

Tetapi para peneliti tersebut mengatakan bahwa kita tidak bisa berasumsi bahwa ini adalah kabar baik.

Peningkatan penyerapan CO2 tidak akan mendekati kompensasi untuk apa yang dilepaskan oleh aktivitas manusia ke udara.

Dan, karena sebagian besar kehidupan tanaman saat ini berevolusi di dunia beriklim sedang, yang rendah CO2, beberapa ekosistem alam dan pertanian dapat sangat terganggu oleh tingkat CO2 yang lebih tinggi, bersamaan dengan kenaikan suhu dan pergeseran curah hujan yang dihasilkannya.

Tidak semua tanaman dapat memanfaatkannya, dan di antara yang memanfaatkannya, hasilnya dapat bervariasi tergantung temperatur dan ketersediaan air atau nutrisi.

Ada bukti bahwa ketika beberapa tanaman utama berfotosintesa lebih cepat, mereka menyerap lebih sedikit kalsium, besi, seng, dan mineral lain yang penting untuk nutrisi manusia.

"Bagaimana hasilnya itu seperti menjadi dugaan semua orang," kata Dr Reichgelt. "Itu adalah lapisan stres lainnya bagi tanaman. Barangkali bagus untuk beberapa di antaranya, dan mengerikan bagi lainnya."

Bagaimana dedaunan bisa terawat dengan baik?

Tinggalan tersebut terletak di sebuah kawasan peternakan di dekat kota Dunedin, di selatan Selandia Baru.

Di danau kawah kuno, lapisan sedimen yang berurutan terbentuk dari lingkungan sekitarnya selama puluhan juta tahun.

Danau itu sangat dalam dan memiliki tingkat oksigen yang rendah di dasarnya. Ini artinya setiap daun prasejarah yang tenggelam di sana relatif terawat dengan baik, meskipun berusia 23 juta tahun.

Hal ini termasuk dedaunan yang tak terhitung jumlahnya dari hutan hijau sub-tropis.

Endapan tersebut memiliki struktur berlapis dengan bahan organik kehitaman yang diselingi dengan pita-pita bahan kaya silika putih yang dibentuk oleh alga yang mekar setiap musim semi.

Fitur tersebut hanya dikenali dalam waktu sekitar 15 tahun terakhir; ilmuwan menjulukinya Foulden Maar.

Ini adalah satu-satunya endapan yang diketahui dari jenisnya di belahan bumi selatan, dan jauh lebih baik daripada yang diketahui dari belahan utara.

Bagaimana rasanya bekerja dengan bahan kuno seperti itu?

Tammo Reichgelt mengatakan dia merasakan tanggung jawab yang besar dan "semacam rasa hormat yang aneh" bekerja dengan aneka fosil berkualitas yang lama tak terganggu.

Dia menggambarkan proses penggalian fosil dari lubang yang digali hingga di endapan paling bawah kawah.

Fosil-fosil itu sudah terpapar unsur-unsur yang "sangat berangin, cerah dan jenuh dengan hujan".

Kenyataan ini membuat pekerjaan itu menjadi sangat menantang.

"Daun terbesar yang pernah saya temukan berada pada hari yang basah dan segenggam batu rapuh luluh di tangan saya dengan daun di atasnya", katanya kepada BBC.

"Tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Ketika hal semacam ini terjadi, perutmu mual dan kamu merasa seperti baru saja menghancurkan makam firaun."

Ikuti Justin di  Twitter.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI