Suara.com - Beberapa orang percaya bahwa suhu panas atau suhu yang lebih hangat mampu mengurangi risiko penyebaran virus Corona (COVID-19). Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri menyebut hal itu sebagai mitos soal virus Corona.
WHO dengan tegas membantah gagasan bahwa suhu yang lebih hangat atau sekitar 25 derajat Celsius dapat mencegah penyebaran COVID-19.
"Kita bisa terkena virus Corona, tidak peduli seberapa cerah atau panas cuaca itu," tulis WHO dalam situs web resminya, seperti dikutip dari The Independent pada Rabu (5/8/2020).
Organisasi itu menambahkan bahwa negara-negara dengan iklim panas justru melaporkan kenaikan kasus COVID-19. Dalam dokumen terpisah, WHO menyatakan bahwa berdasarkan bukti yang ada saat ini, virus COVID-19 bisa ditularkan di semua area, termasuk daerah dengan cuaca panas dan lembap.
Baca Juga: Fakta Baru WHO: Wuhan Diduga Bukan Tempat Awal Penularan Covid-19
"Terlepas dari iklim, kita harus tetap melakukan langkah-langkah perlindungan jika tinggal di atau bepergian ke daerah yang mencatat kasus COVID-19," tambah WHO.
Meskipun demikian, beberapa penelitian menyebut bahwa COVID-19 bisa terjadi secara musiman di musim panas dan musim dingin.
Pada awal tahun ini, para ilmuwan dari University College London melakukan penelitian terhadap virus Corona umum dengan menganalisis data historis. Para ilmuwan menemukan bahwa tingkat kasus tertinggi terjadi pada Februari, dengan lebih sedikit kasus selama musim panas.
"Temuan kami mendukung gagasan bahwa di Inggris, kita dapat melihat tingkat yang lebih rendah dari penularan virus Corona di musim panas, tetapi ini dapat berbalik pada musim dingin jika masih ada populasi yang rentan pada saat itu," kata Rob Aldridge, penulis utama penelitian tadi.
Namun, ia menambahkan bahwa COVID-19 adalah jenis virus baru sehingga para ilmuwan masih tidak yakin apakah pola musiman ini akan bertahan selama musim panas karena tingkat kerentanan yang tinggi dalam populasi.
Baca Juga: WHO Ingatkan Vaksin Bukan 'Peluru Perak' untuk Tangkal Pandemi Covid-19
Sementara itu, penelitian yang dilakukan satu dekade lalu oleh Centre for Infectious Diseases di University of Edinburgh menyimpulkan bahwa tiga jenis virus Corona "ditandai musiman pada musim dingin", menyebabkan infeksi terutama antara Desember dan April, mirip dengan influenza.