Menurutnya, saat ini banyak orang yang terjun jadi pemengaruh dengan membuat kanal-kanal di platform seperti YouTube, Instagram, dan Facebook tapi belum disertai pemahaman yang utuh tentang etika atau cara menggunakan pengaruhnya untuk mengedukasi masyarakat.
"Sederhananya, mereka butuh pemahaman tentang literasi digital yang baik," ujarnya.
Menurut Septiaji, sebagaimana jurnalis memiliki kode etik, maka harus ada juga semacam kode etik untuk influencer.
"Meskipun belum ada regulasinya, saat ini saya rasa mereka butuh untuk paling tidak memahami bahwa ketika mereka menyampaikan suatu konten, maka mereka harus punya pertanggungjawaban, mereka mau memperbaiki kalau ada kesalahan, tidak hanya sekadar menghapus tapi mereka juga mau menjelaskan kesalahan," ia menjelaskan.
Baca Juga: Dijerat UU ITE, Anji dan Profesor Hadi Pranoto Terancam Langsung Ditahan
Solusi lainnya, kata Septiaji, pemerintah membuka komunikasi dua arah, yaitu mendengarkan segala keluh-kesah masyarakat tentang Covid-19 dan meresponnya. Hal ini bisa dilakukan melalui media sosial.
Dan yang tak kalah penting, melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama.
"Otoritas tidak bisa bekerja sendiri. Mereka butuh merangkul tokoh agama, tokoh masyarakat, sehingga pesan yang ingin disampaikan dari otoritas itu bisa efektif sampai ke masyarakat sekaligus para tokoh itu juga menjadi penyambung lidah masyarakat," ujarnya.
Dilaporkan ke polisi
Anji dan Hadi Pranoto dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada Senin (03/08), menurut laporan sejumlah media.
Baca Juga: Susi Pudjiastuti Anggap Anji Tidak Bertanggung Jawab
Pihak pelapor, Ketua Umum Cyber Indonesia, Muannas Alaidid, mengatakan konten YouTube Anji telah menyebabkan polemik di masyarakat. Ia menegaskan bahwa Anji harus membuktikan tentang opini publik yang berkembang di masyarakat tersebut.