Game Action Tidak Membuat Pemain Menjadi Lebih Agresif di Kehidupan Nyata

Jum'at, 24 Juli 2020 | 08:30 WIB
Game Action Tidak Membuat Pemain Menjadi Lebih Agresif di Kehidupan Nyata
Ilustrasi main game. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan bahwa kecanduan game termasuk salah satu gangguan mental pada 2018 lalu. Pasalnya, game dinilai bisa mengubah perilaku pemain menjadi lebih agresif di kehidupan nyata.

Namun dalam studi terbaru, video game bergenre action yang biasa menampilkan unsur kekerasan pun, tidak terbukti sanggup mengubah sifat para pemainnya.

Para peneliti dari Massey University telah menganalisis data dari 28 studi sebelumnya, termasuk 21.000 orang muda yang melihat hubungan antara agresi dan permainan video.

Hasil analisis para peneliti menunjukkan bahwa video game yang penuh kekerasan, tampaknya tidak membuat pemain lebih agresif dalam kehidupan nyata.

Baca Juga: Ini Dia Game Favorit Elon Musk

"Secara keseluruhan, studi longitudinal tampaknya tidak mendukung hubungan jangka panjang yang substantif antara konten game yang agresif dan agresi kaum muda," kata pemimpin studi, Aaron Drummond, seperti dikutip dari Mirror, Jumat(24/7/2020).

"Korelasi antara konten permainan agresif dan agresi kaum muda, tampak lebih baik dijelaskan oleh kelemahan metodologis dan efek harapan peneliti, daripada efek sesungguhnya di kehidupan nyata," lanjutnya.

Hasil studi tersebut sekaligus membantah asumsi sebelumnya, yang menganggap video game bisa membuat pemainnya melakukan kekerasan dalam kehidupan nyata.

Misalnya, tahun lalu, sebuah penelitian menemukan bahwa anak-anak yang bermain video game kekerasan lebih cenderung terlibat dengan senjata dalam kehidupan nyata.

Dalam studi tersebut, 220 anak usia 8-12 dipisah menjadi tiga kelompok dan ditugaskan untuk memainkan berbagai versi Minecraft.

Baca Juga: Cara Unik Bali United Tetap Bertanding Saat Kompetisi Terhenti Pandemi

Kelompok pertama adalah kekerasan dan mengharuskan pemain untuk membunuh monster dengan senjata, sedangkan yang kedua mengharuskan pemain untuk membunuh monster dengan pedang. Sementara kelompok ketiga adalah tim tanpa kekerasan, tanpa senjata atau monster.

Sejumlah peserta mengikuti perlombaan game Player UnknownÕs Battle Grounds (PUBG) di Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Sabtu (22/6/2019). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/hp. (ANTARA FOTO/SYIFA YULINNAS)
Sejumlah peserta mengikuti perlombaan game Player UnknownÕs Battle Grounds (PUBG). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/hp. (ANTARA FOTO/SYIFA YULINNAS)

Setelah 20 menit bermain game, anak-anak diundang untuk bermain di ruangan lain dengan berbagai mainan, termasuk dua pistol rusak.

Para peneliti menemukan bahwa 62 persen dari anak-anak di kelompok pertama memilih pistol sekitar 54 persen anak dari kelompok kedua juga menyentuh pistol. Sementara itu, hanya 44 persen anak-anak dari kelompok ketiga yang bermain tanpa menggunakan pistol.

Dalam studi mereka, yang diterbitkan di JAMA Network Open, para peneliti, yang dipimpin oleh Dr Brad J. Bushman, menulis bahwa anak-anak yang terpapar video game bergenre action cenderung terlibat dalam perilaku berbahaya, menarik pelatuk pada diri mereka sendiri atau membunuh orang lain ketimbang anak-anak bermain game non action.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI