Surat Al Hujurat (49), ayat 13 dalam Al-Quran, menyatakan: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu…dari berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Ayat ini menentang banyak nilai-nilai masyarakat Arab pra-Islam yang memiliki kesenjangan sosial berdasarkan keanggotaan suku, kekerabatan dan kekayaan sebagai bagian dari kehidupan.
Kekerabatan atau keturunan (dalam bahasa Arab disebut “nasab”) adalah penentu utama status sosial seseorang.
Anggota suku yang lebih besar dan lebih menonjol seperti Quraisy memiliki kedudukan yang tinggi, sedangkan orang-orang dari suku yang kurang kaya seperti Khazraj memiliki kedudukan lebih rendah.
Baca Juga: Diskriminasi terhadap Orang Papua Ada dalam Film dan Buku Anak
Al-Qur'an mengatakan bahwa kesalehan dan perbuatan pribadi adalah dasar dari nilai baik, bukan afiliasi suku – ini adalah pesan asing yang berpotensi mengacaukan masyarakat berdiri berdasarkan nasab.
Memperjuangkan kaum marginal
Seperti halnya gerakan revolusioner lain, Islam awalnya menghadapi perlawanan sengit dari banyak elite.
Suku Quraisy, misalnya, yang mengendalikan perdagangan di Mekah - bisnis yang sangat menguntungkan bagi mereka, tidak mau melepas gaya hidup nyaman yang mereka bangun di atas punggung orang lain, terutama budak yang mereka bawa dari Afrika.
Pesan Nabi tentang egalitarianisme cenderung menarik bagi “orang-orang yang tidak diinginkan” - orang-orang dari masyarakat pinggiran.
Baca Juga: Beragama Katolik, Chicharito Anggap Nabi Muhammad sebagai Manusia Terbaik
Umat Muslim awal mencakup pemuda-pemuda dari suku yang kurang berpengaruh yang ingin lepas dari stigma dan budak-budak yang dijanjikan pembebasan dengan memeluk Islam.