Stereotip senada juga ditemukan dalam serial drama remaja Diam-Diam Suka di salah satu televisi swasta. Serial tersebut menggambarkan bahwa orang Papua itu bodoh, aneh, dan primitif.
Tayangan lain yang sejenis bisa kita jumpai dalam tayangan komedi Keluarga Minus.
Dalam tayangan tersebut kita akan mengingat sosok Minus yang lucu dan terkadang berlaku konyol. Tayangan tersebut memberikan sesuatu hal yang relatif baru, yakni kemunculan wajah Papua dalam televisi. Tetapi kemunculan tersebut cenderung memposisikan Papua sebagai bahan olok-olok dan layak ditertawakan. Padahal secara tidak sadar hal tersebut akan melanggengkan stigma terhadap orang Papua, yakni stigma bodoh dan konyol.
Rasisme dalam buku teks
Baca Juga: Rasisme yang Dialami Mahasiswa Papua:"Di Papua sudah pakai baju?"
Setelah era Reformasi, buku teks pelajaran anak berusaha menghadirkan lebih banyak keragaman Indonesia. Buku teks SD (Sekolah Dasar) yang dulu hanya didominasi oleh nama Budi dan Ani kini, kini juga menghadirkan tokoh Edo yang merepresentasikan Papua.
Tapi itu tidak cukup.
Sebuah penelitian menjelaskan bahwa meski etnis Papua sudah sering hadir dalam buku teks SD, tetapi relasinya dengan figur yang lain tetap saja inferior. Ketika disandingkan dengan etnis lain, etnis Papua masih dianggap lebih rendah dan dianggap sebagai pelengkap saja.
Mengapa negara membiarkan
Gambaran di atas menegaskan betapa rasis dan diskriminatifnya tontonan dan bacaan tentang Papua yang disuguhkan untuk anak.
Baca Juga: Asal Lagu Yamko Rambe Yamko Jadi Misteri, Orang Papua Tak Tahu Artinya
Imajinasi Papua yang primitif, bodoh, miskin, dan hal-hal negatif lainnya sudah terinstitusionalisasi dalam film, tayangan televisi dan buku sekolah.