Suara.com - Di tengah upaya sejumlah lembaga riset kredibel dari sejumlah negara untuk mencari obat dan vaksin yang bisa mengendalikan COVID-19, muncul sejumlah klaim berlebihan dan tidak ilmiah ihwal obat herbal mampu mengendalikan virus corona, termasuk kalung anti corona yang fenomenal.
Mei lalu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengklaim kalung Eucalyptus atau tanaman kayu putih bisa menjadi antivirus untuk melawan virus corona. Kalung anti corona itu kini sudah diluncurkan. Sebelumnya, juga diberitakan bahwa empon-empon (rimpang) diklaim memiliki aktivitas antivirus.
Klaim-klaim itu membahayakan kesehatan masyarakat karena akan mendorong pandangan di masyarakat bahwa tanaman herbal itu benar-benar ampuh.
Masyarakat, pemerintah, dan pemimpin masyarakat harus berhati-hati menyikapi klaim-klaim herbal yang mengaku-ngaku sebagai antivirus.
Baca Juga: Kalung Anti Corona akan Diproduksi Massal, Kementan Sebut Harga Terjangkau
Penelitian untuk membuktikan keampuhan tanaman herbal melawan penyakit membutuhkan riset puluhan tahun. Kita bisa belajar dari sejarah senyawa artemisinin dari Artemisia annua (anuma) baru mendapat status sebagai obat terapi malaria setelah hampir 30 tahun sejak riset pertama dipublikasikan.
Saya menjelaskan empat alasan di bagian bawah mengapa kita harus menolak klaim obat herbal yang ngaku-ngaku mampu melawan virus corona.
Posisi riset obat saat ini
Belum tersedianya obat spesifik dan vaksin, menjadikan COVID-19 sulit dikendalikan dan momok menakutkan.
Banyak negara yang berinvestasi besar-besaran pada riset COVID-19 termasuk riset obat dan vaksin. Meski riset besar sedang dilakukan, kesimpulan vaksin dan obat spesifik yang dapat digunakan untuk melawan virus corona masih sangat minim.
Baca Juga: Takut Jadi Bahan Bullyan, Anggota DPR Minta Kalung Anti Corona Diuji Lagi
Terakhir, remdesivir yang sebelumnya sempat dipakai untuk penanganan Ebola kemungkinan menunjukkan hasil baik. Kita perlu menunggu rilis laporan hasil risetnya secara utuh.
Beberapa uji klinis obat seperti Hydroxychloroquine (obat antimalaria) tidak menunjukkan hasil yang bisa dipercaya seperti yang didengungkan politikus sebelumnya.
Indonesia melalui Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Dana Abadi Pendidikan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), juga ikut mendukung riset yang berkaitan dengan penanganan COVID-19.
Penelitian untuk calon vaksin serta uji klinis untuk plasma kovalesen sudah dilakukan oleh Eijkman Institute yang bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI).
Dampak dari klaim tidak ilmiah beredar
Saat riset yang memiliki potensi besar dan realistis itu belum mencapai kesimpulan akhir, ada beberapa “penelitian” yang hasilnya dilebih-lebihkan (overclaim) oleh peneliti/lembaganya dan disebar ke media massa yang dibaca jutaan orang.
Misalnya, riset kalung Eucalyptus atau tanaman kayu putih dari lembaga riset Kementerian Pertanian yang mengklaim bisa menjadi “antivirus” untuk melawan virus corona. Memang ada hasil penelitian yang menunjukkan potensi dari senyawa yang terkandung dalam tanaman tersebut.
Namun, perlu dicermati secara lebih teliti bahwa riset tersebut masih dalam tahap penelitian berbasis analisis komputer (in silico). Artinya masih jauh dari penggunaan produk jadi yang layak dan terbukti bermanfaat untuk digunakan untuk manusia. Hasil studi in silico tersebut menunjukkan hanya terdapat satu senyawa yang menunjukkan potensi antivirus di antara ratusan senyawa yang terdapat dalam tanaman genus Eucalyptus.
Masalahnya, lembaga ini sudah memproduksi dan melakukan publikasi melalui media massa, seolah-olah Eucalyptus ini benar-benar dapat menjadi antivirus untuk penanganan COVID-19.
Hal yang lebih berbahaya, overclaim dan terburu-buru tanpa merujuk hasil riset yang tepercaya itu akan menimbulkan penyesatan di tengah masyarakat. Apalagi tingkat literasi kesehatan masyarakat bervariasi dan kurang kritis terhadap pemberitaan.
Dampaknya sungguh berbahaya bila masyarakat malah mengalungkan Eucalyptus dan mengabaikan protokol kesehatan COVID-19, tak memakai masker dan juga tidak jaga jarak fisik karena percaya akan terlindungi dari potensi infeksi. Padahal riset yang ada tidak pernah mengatakan demikian.
Pada awal wabah di Indonesia, publik juga “tersesat” dengan berita bahwa ada bagian tanaman seperti empon-empon (rimpang) yang diklaim memiliki aktivitas antivirus. Bahkan Satuan Tugas COVID-19 DPR turut andil dalam mengimpor dan mengedarkan produk herbal Herbavid19.
Celakanya, pemberitaan semacam ini sudah tersebar luas namun bukti ilmiah yang mendukung klaim-klaim tersebut relatif tidak ada.
Rasionalisasi dalam riset obat herbal dari penelitian sebelumnya
Penemuan senyawa aktif yang bermanfaat menjadi obat sebenarnya bukan merupakan barang baru.
Pada dekade 1960-an, kita mengenal vinkristine dan vinblastin yang berhasil diisolasi dari tanaman Catharantus roseus (tapak dara). Hingga saat ini kedua senyawa ini masih menjadi salah satu terapi standar untuk pengobatan kanker.
Di Asia pada periode 1970-an, artemisinin berhasil diisolasi dari Artemisia annua (anuma), sebuah tanaman yang menjadi bagian dari Traditional Chinese Medicine (TCM).
Artemisinin terbukti bermanfaat untuk terapi malaria sehingga saat ini dijadikan salah satu terapi standar malaria. Penemunya, Tu Youyou, mendapatkan Hadiah Nobel bidang kedokteran pada 2015.
Pemerintah Cina butuh waktu sangat lama untuk menggunakan temuan riset trial and error hingga akhirnya menjadikan artemisinin senyawa murni yang diizinkan, tanpa melihat dampak kestabilan obat dan memiliki ketersediayaan hayati.
Laporan riset artemisinin pertama dipublikasikan pada 1979. Lalu, walau masih diproduksi secara terbatas, artemisinin baru mendapatkan status resmi sebagai terapi pilihan untuk malaria sekitar tahun 2006.
Selain itu terdapat beberapa masalah dari pendekatan riset obat berbasis herbal.
Pertama, minimnya literatur ilmiah yang melatarbelakangi penelitian semacam ini. Jika kita tinjau kembali, hampir sebagian besar penelitian herbal memiliki latar belakang kearifan lokal yang sangat sulit dibuktikan relevansi ilmiahnya.
Kedua, selain sangat bersifat subyektif, yang akan menjadi masalah dalam proses pengujian hipotesis ilmiah, riset yang dilakukan awalnya merupakan trial and error karena minimnya bukti yang mendukung. Jika kita meninjau lagi dalam penelitian berbasis herbal dan Traditional Chinese Medicine, berapa banyak dari ratusan atau mungkin ribuan riset semacam itu yang benar-benar berhasil menjadi produk obat dan terapi utama dalam suatu penyakit?
Setelah penemuan artemisinin hampir tidak ada senyawa baru yang berhasil diisolasi dan menjadi standar pengobatan suatu penyakit. Hal ini sedikit banyak membuktikan adanya faktor keberuntungan dalam pendekatan trial and error suatu riset. Tentu saja ada kemungkinan berhasil tapi lebih banyak yang gagal dan tidak menjadi produk obat apa pun.
Permasalahan lebih lanjut, ketiga, pada senyawa hasil sintesis herbal adalah masalah keberlanjutan. Misalnya, pada awal mulanya, dibutuhkan beberapa ton tanaman Catharantus roseus hanya untuk menghasilkan beberapa ons senyawa aktif vinkristin. Ini merupakan proses yang sangat tidak efektif dan sangat berpengaruh pada harga obat tersebut.
Keempat, senyawa-senyawa sintesis murni dari herbal ini cenderung tidak stabil di dalam tubuh karena mudah mengalami kerusakan struktur dan memiliki ketersediayaan hayati dalam tubuh yang rendah sehingga menimbulkan efek terapi pada pasien yang bervariasi.
Oleh sebab itu, saat ini produksi biosintetik (proses pembentukan senyawa kimia tertentu dari jasad organisme hidup) untuk menghasilkan senyawa-senyawa sintetik dan semi-sintetik lebih dipilih dibandingkan harus melakukan sintesis secara utuh dari tanaman.
Selain karena lebih berkelanjutan, senyawa yang dihasilkan lebih stabil dan memiliki ketersediayaan hayati yang baik yang dibutuhkan untuk mencapai efek terapi yang optimal.
Dari Indonesia belum pernah ada
Produk akhir riset herbal tidak pernah ada yang dipertahankan dalam bentuk aslinya (daun, batang, akar), namun menghasilkan senyawa yang murni. Meski demikian, saat senyawa murni yang didapat dari bagian asli tanaman memiliki banyak keterbatasan, hal ini akan mulai ditinggalkan dan beralih kepada proses biosintesis yang lebih spesifik.
Karena itu, riset herbal yang hanya berfokus pada penggunaan bagian tanaman saja menjadi pertanyaan besar. Apa saja senyawa yang memang bermanfaat? Bagaimana ketepatan dosis senyawa aktifnya? Bagaimana interaksi senyawa aktif yang diinginkan dengan senyawa lainnya yang ada dalam herbal tersebut? Bagaimana menyeleksi senyawa tidak bermanfaat dan malah membahayakan kalau satu bagian tanaman dikonsumsi sekaligus? Itu pertanyaan yang tidak mudah dijawab.
Di Indonesia, belum ada satupun produk riset seperti ini yang membuahkan produk obat yang murni. Hal ini menunjukkan bahwa riset obat-obatan tidak semudah yang dibayangkan banyak orang.
Meninjau sedikit dalam kaitannya dengan COVID19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sempat mengeluarkan pernyataan bahwa penggunaan Traditional Chinese Medicine belum bisa direkomendasikan karena bukti ilmiah yang sedikit.
Selain itu, komunitas peneliti banyak sekali yang mengingatkan bahwa penggunaan Traditional Chinese Medicine atau herbal memiliki landasan ilmiah yang lemah.
Jika kita meninjau lebih lanjut pada situs clinicaltrial.gov, semua Traditional Chinese Medicine dan herbal yang ada masih dalam status uji klinis. Artinya belum ada sama sekali yang terbukti menjadi antivirus, yang sayangnya telah disalahpahami oleh masyarakat awam Indonesia.
Saya mengusulkan para pengambil kebijakan dan para peneliti yang mungkin kurang familiar terkait riset obat-obatan untuk menfokuskan dana riset kepada penelitian yang lebih realistis dan masuk akal.
Penyakit COVID-19 membutuhkan strategi penelitian dan penanganan yang realistis dan cepat, bukan melalui riset trial and error yang membutuhkan waktu hingga puluhan tahun.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.