Pertama, minimnya literatur ilmiah yang melatarbelakangi penelitian semacam ini. Jika kita tinjau kembali, hampir sebagian besar penelitian herbal memiliki latar belakang kearifan lokal yang sangat sulit dibuktikan relevansi ilmiahnya.
Kedua, selain sangat bersifat subyektif, yang akan menjadi masalah dalam proses pengujian hipotesis ilmiah, riset yang dilakukan awalnya merupakan trial and error karena minimnya bukti yang mendukung. Jika kita meninjau lagi dalam penelitian berbasis herbal dan Traditional Chinese Medicine, berapa banyak dari ratusan atau mungkin ribuan riset semacam itu yang benar-benar berhasil menjadi produk obat dan terapi utama dalam suatu penyakit?
Setelah penemuan artemisinin hampir tidak ada senyawa baru yang berhasil diisolasi dan menjadi standar pengobatan suatu penyakit. Hal ini sedikit banyak membuktikan adanya faktor keberuntungan dalam pendekatan trial and error suatu riset. Tentu saja ada kemungkinan berhasil tapi lebih banyak yang gagal dan tidak menjadi produk obat apa pun.
Permasalahan lebih lanjut, ketiga, pada senyawa hasil sintesis herbal adalah masalah keberlanjutan. Misalnya, pada awal mulanya, dibutuhkan beberapa ton tanaman Catharantus roseus hanya untuk menghasilkan beberapa ons senyawa aktif vinkristin. Ini merupakan proses yang sangat tidak efektif dan sangat berpengaruh pada harga obat tersebut.
Baca Juga: Kalung Anti Corona akan Diproduksi Massal, Kementan Sebut Harga Terjangkau
Keempat, senyawa-senyawa sintesis murni dari herbal ini cenderung tidak stabil di dalam tubuh karena mudah mengalami kerusakan struktur dan memiliki ketersediayaan hayati dalam tubuh yang rendah sehingga menimbulkan efek terapi pada pasien yang bervariasi.
Oleh sebab itu, saat ini produksi biosintetik (proses pembentukan senyawa kimia tertentu dari jasad organisme hidup) untuk menghasilkan senyawa-senyawa sintetik dan semi-sintetik lebih dipilih dibandingkan harus melakukan sintesis secara utuh dari tanaman.
Selain karena lebih berkelanjutan, senyawa yang dihasilkan lebih stabil dan memiliki ketersediayaan hayati yang baik yang dibutuhkan untuk mencapai efek terapi yang optimal.
Dari Indonesia belum pernah ada
Produk akhir riset herbal tidak pernah ada yang dipertahankan dalam bentuk aslinya (daun, batang, akar), namun menghasilkan senyawa yang murni. Meski demikian, saat senyawa murni yang didapat dari bagian asli tanaman memiliki banyak keterbatasan, hal ini akan mulai ditinggalkan dan beralih kepada proses biosintesis yang lebih spesifik.
Baca Juga: Takut Jadi Bahan Bullyan, Anggota DPR Minta Kalung Anti Corona Diuji Lagi
Karena itu, riset herbal yang hanya berfokus pada penggunaan bagian tanaman saja menjadi pertanyaan besar. Apa saja senyawa yang memang bermanfaat? Bagaimana ketepatan dosis senyawa aktifnya? Bagaimana interaksi senyawa aktif yang diinginkan dengan senyawa lainnya yang ada dalam herbal tersebut? Bagaimana menyeleksi senyawa tidak bermanfaat dan malah membahayakan kalau satu bagian tanaman dikonsumsi sekaligus? Itu pertanyaan yang tidak mudah dijawab.