Suara.com - Sampai hari Kamis (02/07), angka kematian pasien positif Corona atau COVID-19 yang diumumkan Pemerintah Indonesia mencapai 2.987 orang.
Namun, angka ini hanya berasal dari angka kematian pasien yang terkonfirmasi positif COVID-19 melalui tes virus Corona, seperti swab atau PCR.
Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan panduan untuk mengklasifikasi dan menghitung angka kematian akibat COVID-19 supaya data yang terkumpul seragam dan akurat.
Dalam panduan WHO disebutkan angka kematian COVID-19 termasuk kematian yang disebabkan oleh kondisi klinis dengan indikasi COVID-19, bukan hanya yang sudah dinyatakan positif COVID-19.
Baca Juga: WHO Buka Rincian Awal Wabah, Laporan Pertama Berasal dari Kantornya Sendiri
Yang dimaksud dengan kondisi klinis antara lain sindrom kesulitan bernapas yang akut, kegagalan sistem pernapasan, dan pneumonia, meski pasien belum dinyatakan positif COVID-19.
Artinya, Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan Pasien Dalam Pemantauan (PDP) di Indonesia seharusnya masuk dalam kategori memiliki kondisi klinis tersebut.
Menurut penghitungan Kawal COVID-19, sebuah organisasi sukarela inisiatif warganet, jika dihitung menurut panduan WHO, total angka kematian di Indonesia akibat COVID-19 sampai Rabu (01/07) adalah 9.674 orang.
"Tapi angka ini mungkin juga tidak sepenuhnya akurat, karena kami hanya punya data PDP dari 20 provinsi dan data ODP hanya dari 10 provinsi," kata Elina Ciptadi dari Kawal COVID-19 kepada Hellena Souisa dari ABC.
Menurut data Lapor COVID-19, per tanggal 26 Juni 2020, ada selisih 47 antara temuan Kematian Positif (2.730) dengan data pemerintah (2.683). Kematian Terduga Covid yang tak dibuka pemerintah ditemukan sebesar 7.107 jiwa.
Baca Juga: Kasus Covid-19 Global Jadi 11 Juta, WHO Desak Semua Orang Ambil Kendali
Sementara Lapor COVID-19, platform yang menggunakan pendekatan laporan warga, mencatat total kematian akibat COVID-19 di Indonesia jika dihitung menggunakan cara WHO mencapai 9.837 orang per 26 Juni 2020.
Dengan besarnya angka ini, maka Indonesia menempati peringkat ketiga negara dengan jumlah kematian tertinggi di Asia setelah India dengan 18.225 kematian dan Iran yang mencatat 11.106 kematian.
Angka kematian anak akibat COVID-19 di Indonesia juga menjadi meningkat, karena adanya jumlah meninggal di kalangan anak-anak yang berstatus PDP.
Dalam paparannya di depan Komisi X DPR pekan lalu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyampaikan anak yang meninggal dunia dalam status positif COVID-19 mencapai 36 orang hingga 22 Juni lalu, sementara anak yang meninggal dunia dalam status PDP berjumlah 204 orang.
"Saya juga bingung. Semua sudah kami lakukan, tapi kok belum juga sesuai dengan harapan kami," kata Ketua IDAI, dr Aman Pulungan menanggapi peningkatan angka kasus dan kematian anak karena COVID-19.
Kapasitas tes masih rendah
Dalam rekomendasinya, WHO mensyaratkan jumlah tes virus corona lewat swab dan PCR setidaknya dilakukan 1 orang per 1.000 penduduk setiap minggu, saat aturan pembatasan sosial dilonggarkan.
Merujuk anjuran ini, seharusnya Indonesia melakukan tes minimal 40.000 orang per hari.
Rata-rata harian tes PCR di Indonesia selama 7 hari terakhir masih sekitar 10.000 orang.
Sementara menurut penghitungan Kawal COVID-19, dalam sepekan terakhir sampai 2 Juli 2020, rata-rata orang yang dites virus corona per hariwil di Indonesia adalah 10.853 orang.
"Kalau dilihat dari spesimen tes, sebenarnya angka pengetesan bisa ditingkatkan kalau Indonesia mengikuti protokol discharge criteria WHO yang baru, yang mengatakan tidak perlu dua kali swab negatif," kata Elina.
Jika dihitung secara keseluruhan, saat ini ada 59.394 kasus positif virus Corona dari 503.131 orang yang sudah dites, atau sekitar 11,8 persen.
Perbandingan kasus positif dari jumlah total yang diperiksa, dikenal sebagai 'positive rate' juga naik, dari 10,81 persen di bulan Mei menjadi 11,79 persen di bulan Juni.
New normal harus diiringi keterbukaan data
Empat bulan sejak pasien pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan, keterbukaan data yang akuntabel dan jumlah pengetesan yang rendah masih menjadi masalah terbesar penanganan COVID-19 di Indonesia.
Untuk mengetahui perkembangan pandemi virus corona Indonesia, warga mendapatkan dua keterangan yang disampaikan langsung oleh pemerintah.
Keterangan harian disampaikan juru bicara Gugus Tugas COVID-19, Achmad Yurianto dan keterangan mingguan disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, atau bergantian dengan Ketua Tim Pakar Gugus Tugas, Wiku Adisasmito, yang disampaikan dalam Bahasa Inggris.
Tapi tidak seperti semua diakhiri oleh sesi tanya jawab dengan wartawan, seperti keterangan harian yang disampaikan Achmad.
Abdul Manan, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, melihat ketiadaan sesi tanya jawab dalam pengumuman jumlah kasus COVID-19 di Indonesia mencerminkan keengganan pemerintah untuk terbuka soal data.
"Itu berarti pemerintah tidak memberikan kesempatan untuk mengeksplor atau mempertanyakan akurasi data yang disampaikan," kata Abdul Manan.
Ketua umum AJI Indonesia Abdul Manan menilai 'new normal' di Indonesia harus diiringi dengan keterbukaan data.
"Kita perlu mengklarifikasi informasi yang disampaikan oleh pemerintah dan juga untuk mendapatkan informasi yang lebih detail," tambahnya kepada Natasya Salim dari ABC News.
Pentingnya mengumumkan data, menurut Manan, agar masyarakat paham jika ancaman virus corona masih tinggi, meski pemerintah berusaha menerapkan 'new normal' untuk mencegah memburuknya ekonomi.
"Kalau [jumlah kematiannya] masih tinggi, harus disampaikan kepada publik supaya publik juga tahu risiko yang akan dihadapinya [ketika beraktivitas di luar]," kata Manan.
"Jangan sampai karena ingin memulai 'new normal', [pemerintah] berusaha untuk membuat kasus COVID ini tidak terlihat parah."
Berbasis data saja tidak cukup
Beberapa pengamat pernah menyoroti pendekatan militeristik yang dipakai pemerintah di masa awal penanganan COVID-19, di mana pemerintah menganggap keterbukaan informasi dan transparansi malah akan membahayakan.
Lapor COVID-19 menilai akses data saat ini sudah lebih baik dibandingkan awal pandemi dan pemerintah kerap mengklaim langkah-langkah penanganan sudah berbasis data.
"Tapi berbasis data saja tidak cukup. Harus data yang akuntabel, yang bisa dipertanggungjawabkan, yang bisa mencerminkan apa yang terjadi di lapangan," kata Irma Hidayana dari Lapor COVID-19.
Irma menilai, masyarakat sendiri yang paling dirugikan jika hanya angka kematian yang sudah dinyatakan positif COVID-19 saja yang dilaporkan, karena tidak bisa melihat seberapa "fatal" virus corona.
"Data yang tidak akuntabel ini akhirnya membuat kebijakan yang diambil menjadi tidak tepat sasaran. Kami inginnya pemerintah membuka semua data kematian ODP, PDP, dan positif COVID-19, juga berapa jumlah tes PCR di web pemerintah daerah."
Salah satu contoh masalah data yang akuntabel sebagai pijakan pengambilan kebijakan adalah zonasi yang dibuat oleh pemerintah.
"Pewarnaan zona, kalau mau berbasis data, pemerintah menentukan zona merah, oranye, kuning, hijau memang berdasarkan jumlah kasus, tapi jumlah itu tidak relatif terhadap jumlah penduduk."
Ia mencontohkan, jika ada 20 kasus di Jakarta Pusat dan 20 kasus di Kabupaten Tegal, meski berjumlah sama tapi keduanya memiliki bobot risiko yang berbeda.
Perbedaan tersebut tidak tercermin dalam pemetaan.
Irma, Elina, dan Abdul Manan berpendapat, hak atas data atau informasi yang akuntabel harus menjadi perhatian publik dan harus disampaikan oleh pemerintah.
"Itu jadi concern umum, bukan hanya wartawan, tetapi juga masyarakat sipil lainnya, karena bukan hanya wartawan tidak dapat informasi tapi juga publik," pungkas Abdul Manan.