Kita tidak tahu apakah angka 50% itu lebih baik atau buruk dibanding data 2010.
Lagi pula, kelemahan survei adalah tidak mampu menangkap kedalaman objek yang diteliti. Survei ini hanya memotret sikap, bukan tindakan intoleran.
Survei tidak dapat menangkap bagaimana dan kapan sikap intoleran menjadi tindakan intoleran.
Untuk memahami apakah sikap intoleran berpotensi berubah menjadi tindakan intoleran, survei dapat bertanya pada responden, misalnya: bersedia atau tidak mengikuti aksi menolak rumah ibadah non-Muslim, gubernur non-Muslim, dan walikota/bupati non-Muslim?
Baca Juga: Dibully Warganet, Gus Miftah: Kenapa Islam Nusantara Selalu Diserang?
Data Mietzner dan Muhtadi baru menyumbang sebagian pada advokasi, yaitu perlunya kampanye normatif sikap toleransi di masyarakat.
Untuk kebutuhan advokasi toleransi yang lebih luas, studi-studi etnografi dapat melengkapi data survei.
Studi PUSAD Paramadina pada 2012 dan 2014, misalnya, memperlihatkan ada faktor tokoh agama, pemerintah, dan penegak hukum di balik dinamika antara sikap dan tindakan intoleran.
Pada akhirnya, capaian-capaian advokasi, khususnya yang dilakukan organisasi yang terafiliasi NU, perlu dikumpulkan pada pangkalan data terintegrasi.
Pangkalan data demikian dapat membantu peneliti seperti Mietzner dan Muhtadi melihat dinamika terkait pluralisme di tubuh NU lebih bernuansa dan terhindar dari klaim keliru.
Baca Juga: Innalillahi, Berita Duka Dari Ulama Muda NU Gus Baha
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.