Dinamis berarti pengikut NU mendengarkan suara elite pada kondisi dan isu tertentu. Berlapis artinya pengikut NU menghadapi opini kiai NU dari lapisan paling bawah, kiai kampung hingga elit di pusat, yang beragam.
Mengutip Jeremy Menchik - profesor ilmu politik di Boston University, Amerika Serikat - umat Islam Indonesia menganut toleransi komunal, bukan individual. Mereka toleran untuk hal-hal yang dibenarkan secara kolektif.
Penodaan atau penistaan agama adalah termasuk hal yang tidak ditoleransi sebagian besar umat Islam, termasuk elite lokal NU, di Indonesia.
Kiai lokal di berbagai daerah, sebagiannya NU, meyakini Ahok bersalah. Setelah kasus Ahok, wajar bila sentimen intoleransi pengikut NU terhadap pemimpin non-Muslim meningkat.
Baca Juga: Dibully Warganet, Gus Miftah: Kenapa Islam Nusantara Selalu Diserang?
Selain sentimen politik, sepanjang demonstrasi, gerakan 212 mewacanakan bahaya “kristenisasi”. Mereka meyakini Ahok merupakan jalan bagi kristenisasi di Indonesia.
Dalam sejarahnya, umat Islam dan Kristen di Indonesia berhubungan dengan perasaan saling terancam.
Sejarah saling keterancaman ini menjelaskan dinamika sikap intoleransi umat Islam, khususnya pengikut NU, terhadap pendirian rumah ibadah non-Muslim.
Keterbatasan data survei untuk advokasi
Apakah data survei ini memperlihatkan advokasi toleransi di Indonesia, khususnya di tubuh NU, selama ini gagal?
Baca Juga: Innalillahi, Berita Duka Dari Ulama Muda NU Gus Baha
Jawabannya tidak. Meski menggunakan data sejak 2010, Mietzner dan Muhtadi tidak memperlihatkan data pembanding antarwaktu intoleransi pengikut NU.