Jika analisis kedua peneliti benar, para aktivis NU yang bergabung di Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM (Lakpesdam) - badan otonom di bawah PBNU, misalnya, tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan politik elite PBNU.
Faktanya, Lakpesdam turut membantu advokasi ketika penghayat kepercayaan menguji undang-undang kependudukan terkait kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Mahkamah Konstitusi. PBNU mengatakan bahwa penghayat kepercayaan bukan agama.
Contoh lain adalah advokasi sekelompok elite intelektual NU untuk kesetaraan gender di pesantren dan jemaah akar rumput NU.
Meski Gus Dur pernah mengatakan - sebagaimana dikutip Mietzner dan Muhtadi - bahwa Indonesia belum siap dengan pemimpin perempuan saat bersaing dengan Megawati Soekarnoputri, para aktivis kesetaraan gender NU tidak surut.
Baca Juga: Dibully Warganet, Gus Miftah: Kenapa Islam Nusantara Selalu Diserang?
Sulit mengatakan bila dua advokasi itu dilakukan sebagai kepanjangan tangan elite politik NU untuk mengamankan kepentingan material.
Mereka bekerja untuk kepentingan lebih dalam dari kepentingan material, yakni nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dinamika pengikut NU
Lalu bagaimana menjelaskan kecenderungan intoleransi pengikut NU?
Sikap politik keagamaan elite NU tidak selalu sejalan dengan pengikutnya. Ketua umum PBNU Said Aqil Sirodj misalnya mendukung Prabowo pada pemilu 2014. Pemilih NU tidak lantas mendukung Prabowo.
Baca Juga: Innalillahi, Berita Duka Dari Ulama Muda NU Gus Baha
Relasi pengikut dan elite NU bersifat dinamis dan berlapis.