Muhammadiyah, yang mengikuti pandangan-pandangan Timur Tengah, gencar mengkampanyekan praktik keagamaan yang mencampuradukan dengan tradisi lokal sebagai praktik sesat.
Para kiai menilai kehadiran gerakan Islam modernis itu mengancam eksistensi dan legitimasi mereka di mata para pengikutnya.
Pada masa awal kemerdekaan, NU cenderung berkoalisi dengan kelompok nasionalis ketimbang partai Islam. Berkat koalisinya dengan partai nasionalis, NU mendapat jatah posisi menteri agama.
Mietzner dan Muhtadi menilai retorika serupa dilakukan ketika NU dipimpin Abdurrahman “Gus Dur” Wahid - pemimpin yang dianggap paling berjasa dalam melakukan transformasi di tubuh NU.
Baca Juga: Dibully Warganet, Gus Miftah: Kenapa Islam Nusantara Selalu Diserang?
Gus Dur memang mengubah pandangan ideologi politik NU dari negara Islam ke model negara yang menghormati ragam agama.
Namun, menurut kedua peneliti, hal itu bukan hanya komitmen terhadap pluralisme, tetapi juga buah kesepakatan Gus Dur dengan pemerintahan otoriter Soeharto.
Di satu sisi, Soeharto mewajibkan Pancasila sebagai dasar organisasi agar dapat mengontrol kekuatan Islam. Di sisi lainnya, NU menerima kewajiban itu agar NU tetap memiliki posisi di dalam pemerintahan Soeharto.
Saat Gus Dur kemudian naik menjadi presiden, walaupun melahirkan kebijakan progresif terhadap warga keturunan Cina, Gus Dur dianggap sebagai presiden yang cenderung otoriter dengan membekukan parlemen.
Setelah jatuh dari kekuasaan, menurut Mietzner dan Muhtadi, reputasi Gus Dur sebagai ikon pluralisme dan toleransi kembali pulih.
Baca Juga: Innalillahi, Berita Duka Dari Ulama Muda NU Gus Baha
Setelah kepergian Gus Dur hingga saat ini, NU mengampanyekan “Islam Nusantara” sebagai payung bagi advokasi toleransi dan pluralisme.