Penelitian Terbaru: Tes Antibodi Covid-19 Tidak Disarankan

Jum'at, 03 Juli 2020 | 14:30 WIB
Penelitian Terbaru: Tes Antibodi Covid-19 Tidak Disarankan
Ilustrasi tes antibodi. [Greg Baker/AFP]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penelitian terbaru menemukan tes antibodi virus Corona (Covid-19) yang dapat dilakukan di rumah, memberikan sepertiga hasil yang salah. Tes kit virus Corona yang menyaring darah untuk mencari tanda-tanda infeksi sebelumnya memiliki kelemahan yang besar.

Para ahli mengidentifikasi dengan benar seseorang yang terinfeksi virus itu, hanya 66 persen dari rata-rata waktu dan hasil ini dapat turun hingga 49 persen dalam beberapa kasus.

Pemerintah di Inggris telah menolak menawarkan tes antibodi kepada publik karena takut orang-orang akan berhenti mengikuti aturan physical distancing jika orang-orang berpikir mereka kebal terhadap Covid-19. Faktanya, tidak ada bukti bahwa orang tidak bisa mendapatkan infeksi dua kali.

Penelitian dalam British Medical Journal menemukan bahwa tes berbasis lab lebih akurat tetapi masih belum sempurna, meskipun berhasil mengidentifikasi hasil positif dengan akurasi antara 84 dan 97,8 persen.

Baca Juga: Peneliti Uji Coba Nanobodi Alpaka untuk Melawan Covid-19, Berhasil?

Temuan ini berdasarkan 40 studi dari seluruh dunia, sebagian besar berasal dari China, dan menunjukkan bahwa tes antibodi tidak siap untuk digunakan secara massal. Tim ahli mengatakan pengujian antibodi harus dihentikan sampai tes itu diperbaiki.

Ulasan terbaru dari bukti saat ini menunjukkan tes antibodi belum cukup baik untuk mendeteksi antibodi Covid-19 dalam darah.

Tim ilmuwan internasional yang dipimpin oleh McGill University Health Centre di Montreal, Kanada, meneliti 40 studi antara 1 Januari dan 30 April untuk mengukur keakuratan tes antibodi Covid-19.

Sekitar 70 persen berasal dari China. Sisanya berasal dari Inggris, Amerika Serikat, Denmark, Spanyol, Swedia, Jepang, dan Jerman.

Ilustrasi ilmuwan. [Pixabay/felixioncool]
Ilustrasi ilmuwan. [Pixabay/felixioncool]

Disebutkan ada dua cara tes antibodi dapat memberikan hasil yang salah. Bisa dikatakan bahwa sampel darah mengandung antibodi, padahal sebenarnya orang tersebut tidak pernah terinfeksi. Ini menunjukkan hasil positif palsu. Atau bisa juga menyatakan bahwa tidak ada antibodi, padahal orang tersebut sebelumnya terinfeksi dan ini menunjukkan hasil negatif palsu.

Baca Juga: Penelitian Terbaru: Sinar Matahari Bisa Bunuh Virus Corona dalam 34 Menit

Sensitivitas tes antibodi mengukur persentase orang yang diidentifikasi dengan benar memiliki penyakit. Sementara spesifisitas mengukur persentase orang yang diidentifikasi dengan benar sebagai tidak memiliki penyakit.

Dr Mayara Lisboa Bastos dan rekannya menemukan sensitivitas tes antibodi secara luas berkisar antara 66 persen hingga 97,8 persen, tergantung pada jenis tes yang digunakan.

Dengan kata lain, antara 2,2 dan 34 persen pasien yang memiliki Covid-19 akan terlewatkan dan salah mendeteksi bahwa mereka tidak pernah menderita penyakit tersebut.

Lateral flow immunoassays (LFIA), metode yang akan digunakan untuk alat tes di rumah memiliki sensitivitas terendah, antara 49 dan 79 persen. Artinya hingga setengah dari orang yang terinfeksi Covid-19 tidak akan terdeteksi.

Sementara sensitivitas rata-rata tes laboratorium yang dikenal sebagai ELISA dan CLIA masing-masing adalah 84,3 persen dan 97,8 persen.

Semua jenis tes antibodi tersebut akan bekerja menggunakan sampel darah dari tusukan jari atau vena. Tetapi, tes LFIA dapat memberikan hasil di tempat secara langsung, sedangkan ELISA dan CLIA harus dikirim ke laboratorium dan dilakukan oleh teknisi menggunakan peralatan khusus.

Ketika hasil spesifisitas dari tes antibodi dalam setiap studi dikumpulkan bersama, hasil tersebut berkisar antara 96,6 hingga 99,7 persen, yang berarti antara 3,4 dan 0,3 persen pasien akan salah diidentifikasi memiliki Covid-19.

Hal ini bisa berbahaya jika orang-orang itu percaya bahwa mereka sudah memiliki antibodi dan merasa aman, kemudian berhenti melakukan tindakan pencegahan seperti physical distancing ketika mereka sebenarnya masih berisiko. Karena itu para ilmuwan menegaskan tes laboratorium lebih spesifik daripada tes LFIA.

Ilustrasi seorang lelaki di laboratorium. [Shutterstock]
Ilustrasi seorang lelaki di laboratorium. [Shutterstock]

Berdasarkan hasil, tim ahli menjelaskan bahwa jika tes LFIA diterapkan pada populasi di mana 10 persen orang memiliki Covid-19. Untuk setiap 1.000 orang yang diuji, maka 31 orang yang tidak pernah mengidap penyakit ini akan keliru diberitahu bahwa mereka kebal, dan 34 orang yang memiliki Covid-19 akan keliru diberitahu bahwa mereka tidak pernah terinfeksi.

Jika 5 persen orang telah terinfeksi dari jumlah orang yang sama, maka 32 orang akan secara keliru diidentifikasi sebagai terinfeksi dan 17 orang akan secara keliru diidentifikasi sebagai tidak terinfeksi.

"Saat ini, bukti yang tersedia tidak mendukung kelanjutan penggunaan tes serologis di tempat perawatan," tulis para ilmuwan dalam penelitian tersebut, seperti dikutip Dailymail, Jumat (3/7/2020).

Penelitian juga menunjukkan tes antibodi paling sensitif ketika dilakukan setidaknya tiga minggu setelah gejala dimulai. Sensitivitas maksimum 98,9 persen dibandingkan dalam minggu pertama, yang menunjukkan hasil 50,3 persen.

Temuan ini mendukung ulasan lain dengan ukuran yang sama. Sebanyak 54 studi dilakukan tentang serangkaian tes antibodi yang diterbitkan pekan lalu. Dalam tinjauan independen yang dipimpin oleh Cochrane Institute dan University of Birmingham, penelitian menemukan hanya tujuh dari sepuluh orang yang koinfeksi positif akan menerima hasil positif dengan sensitivitas tes 70 persen. Antara 15 dan 35 hari setelah gejala, akurasi ini meningkat menjadi rata-rata lebih dari 90 persen.

Ini menunjukkan bahwa tes antibodi hanya akurat antara tiga dan empat minggu setelah seseorang terinfeksi Covid-19. Tes tersebut mungkin juga tidak bekerja pada orang yang hanya memiliki penyakit ringan, tetapi para ilmuwan mengakui bahwa mereka tidak dapat memastikan karena hampir semua penelitian dilakukan pada pasien yang sakit parah.

Walau begitu, profesor Jon Deeks yang memimpin tinjauan Cochrane mengatakan pengujian antibodi belum bisa dikesampingkan.

Ilustrasi virus corona. [Pixabay]/emmagrau]
Ilustrasi virus corona. [Pixabay]/emmagrau]

"Tes di tempat perawatan memiliki manfaat dalam hal aksesibilitas dan kecepatan dibandingkan tes laboratorium, yang mungkin membuatnya lebih disukai dalam beberapa pengaturan, bahkan jika tes itu tidak mencapai tingkat akurasi yang persis sama. Pengembangan dan evaluasi tes sangat penting dan harus dilanjutkan," komentar profesor Jon Deeks.

Sebelumnya, para menteri berjanji Inggris akan mendapatkan alat tes darah yang langsung memberikan hasil pada Maret lalu. Namun tiga bulan kemudian, alat tes tersebut masih belum terwujud untuk publik karena para pejabat masih belum menyetujui.

Dalam langkah besar ke depan, para pejabat kesehatan akhirnya menyetujui dua tes berbasis laboratorium yang dibuat oleh raksasa farmasi Roche dan Abbott bulan lalu dan membeli 10 juta kit. Tetapi alat tes tersebut hanya tersedia untuk petugas medis dan sosial karena hasilnya perlu dianalisis di laboratorium.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI