Waduh, Kutub Selatan Alami Kenaikan Suhu Tiga Kali Lebih Cepat

Kamis, 02 Juli 2020 | 07:30 WIB
Waduh, Kutub Selatan Alami Kenaikan Suhu Tiga Kali Lebih Cepat
Ilustrasi Kutub Selatan. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penelitian terbaru yang diterbitkan Nature Climate Change menunjukkan bahwa Kutub Selatan mengalami rekor pemanasan 1,8 derajat Celcius selama 30 tahun terakhir. Peningkatan itu tiga kali lebih tinggi dari kenaikan suhu yang diperkirakan karena pemanasan global antropogenik.

Data untuk penelitian ini menghubungkan peningkatan suhu di sekitar Kutub Selatan dengan fenomena di wilayah utara. Pada 2018, wilayah itu 2,4 derajat Celcius lebih hangat daripada 1981 hingga 2010.

Fenomena ini karena anomali siklon yang kuat di Laut Weddell di sekitar Antartika. Anomali ini disebabkan suhu permukaan laut yang tinggi di Samudera Pasifik tropis barat, dan menyebabkan udara yang hangat dan lembab bergerak ke arah interior Antratika, mencapai Kutub Selatan.

"Hal ini menunjukkan betapa terkait eratnya iklim Antartika dengan variabilitas tropis. Studi kami juga menunjukkan bagaimana variabilitas internal atmosfer, dapat menyebabkan perubahan iklim regional yang ekstrem di seluruh wilayah Antartika," ucap Dr Kyle Clem, penulis utama penelitian dari University of Wellington, seperti dikutip dari IFL Science, Kamis (2/7/2020).

Baca Juga: Ilmuwan Prediksi Kutub Utara Hilang Sebelum Tahun 2050

Ilustrasi pemanasan global. [Shutterstock]
Ilustrasi pemanasan global. [Shutterstock]

Dr Clem menambahkan bahwa faktanya, Kutub Selatan selama 30 tahun terakhir telah menghangat lebih dari tiga kali lebih cepat daripada pemanasan rata-rata global. Sementara pada periode yang sama pemanasan di Semenanjung Antartika dan di seluruh Antartika Barat berhenti dan bahkan berlawanan.

Penelitian ini sekaligus menunjukkan betapa rumitnya memodelkan perubahan iklim Antartika. Variasi yang kuat dalam suhu di wilayah ini mungkin terjadi tanpa efek dari aktivitas manusia, tetapi perbandingan dengan model menunjukkan bahwa kemungkinan tidak terkait dengan emisi gas rumah kaca sangat jauh.

Tim ahli akan terus mempelajari bagaimana anomali di atmosfer sekitar benua paling selatan mempengaruhi lapisan es dan laut sekitarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI