Suara.com - Dunia pada Senin (30/6/2020) dihebohkan oleh sebuah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebuah jenis flu babi baru - yang disebabkan oleh virus G4 EA H1N1 - kini sudah menjangkit manusia dan disebut memiliki potensi pandemi.
Kabar ini menyita perhatian publik karena sejak akhir 2019 sampai saat ini wabah Covid-19 yang dipicu oleh virus Sars-Cov- 2 belum juga mampu diatasi oleh dunia.
Lalu apakah dunia akan segera tamat oleh kombinasi Covid-19 dan virus G4 yang bermula dari flu babi itu?
Menurut dua orang ilmuwan di Amerika Serikat hasil studi yang terbit di jurnal PNAS itu sebenarnya terlalu berlebihan ditanggapi oleh media dan publik. Menurut mereka virus G4 yang berasal dari babi itu masih jauh dari pandemi.
Baca Juga: Flu Jenis Baru yang Berpotensi Timbulkan Pandemi Ditemukan Di China
Angela Rasmussen, seorang pakar virologi dari Universitas Columbia dan Carl Bergstrom, pakar biologi dari University of Washington, Seattle menjelaskan bahwa kekhawatiran akibat virus G4 itu terlalu berlebihan.
"Belum ada ancaman nyata terhadap manusia," tulis Bergstrom dalam ulasan panjangnya di Twitter seperti dilansir dari CNet.
Sudah ada sejak 2016
Studi tentang virus G4 itu sendiri digelar selama 2011 - 2018 di China. Para peneliti mengambil sampel swab dari ribuan babi yang disembelih di China untuk memeriksa virus flu dalam tubuh binatang tersebut.
Hasilnya mereka menemukan strain virus yang mirip dengan H1N1 - virus yang memicu pandemi pada 2009. Virus itu, yang kemudian dinamai G4, banyak ditemukan di populasi babi di China sejak 2016.
Baca Juga: Banyak Babi di China Idap Flu Babi, Apakah Berbahaya Bagi Manusia?
Lebih lanjut para peneliti menemukan bahwa virus itu sudah berhasil melompat dari babi ke manusia. Sekitar 10 persen pekerja di rumah jagal yang melakukan kontak dengan babi-babi yang terinfeksi G4 diketahui memiliki antibodi untuk melawan virus itu dalam tubuh mereka.
Meski demikian para ilmuwan belum menemukan bukti virus G4 dari babi itu bisa menular dari manusia ke manusia.
"Jadi ini temuan penting pertama. Ini bukan virus baru, ia sudah banyak ditemukan pada babi sejak 2016," tulis Bergstrom.
"Belum ada bukti bahwa G4 menyebar antara manusia, meski virus itu sudah ada selama 5 tahun. Ini adalah konteks kunci yang harus kita pahami," lanjut Bergstrom.
Bergstrom juga menekankan bahwa virus itu baru menjadi strain dominan pada babi yang menjadi populasi studi dan bukan di seluruh China. Ia mengungkapkan bahwa studi itu hanya meneliti babi-babi di 10 dari 25 provinsi di China.
"Jadi apakah kita akan segera mengalami pandemi ganda, Covid dan influenza? Tidak dalam waktu dekat," tegas Bergstrom.
Potensi pandemi?
Tetapi menurut Rasmussen temuan para peneliti di China itu tak serta-merta bisa disimpulkan bahwa bahaya sudah ada di depan mata. Ia menjelaskan ada setidaknya 5 syarat agar sebuah virus bisa disebut patogen atau bisa menyebabkan penyakit pada manusia.
Pertama adalah virus itu bisa menembus sel, kedua bisa bereplikasi, ketiga bisa berkembang biak; keempat bisa menyebar ke inang lainnya, dan terakhir bisa memicu penyakit. Menurut Rasmussen syarat 1 sampai 4 dipenuhi oleh G4.
"Lalu kita masuk ke pertanyaan yang sangat penting, apakah virus itu memicu penyakit?" tulis dia.
Ia menguraikan bahwa dalam studi itu para peneliti hanya memeriksa 338 pekerja di rumah jagal yang melakukan kontak dengan babi. Hasilnya 10 persen atau sekitar 35 yang memiliki antibodi terhadap virus G4.
"Virus itu mungkin sudah menginfeksi manusia, tetapi belum ada laporan bahwa ada orang, yang positif dan tubuhnya sudah menghasilkan antibodi, kemudian jatuh sakit parah. Itu artinya meski ada yang terinfeksi, tetapi virus itu mungkin tidak beradaptasi menjadi patogen atau kedua, tidak terlalu patogenik," jelas Rasmussen.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa meski virus G4 ini memenuhi banyak kriteria dasar untuk menjadi penyakit, tetapi ia belum bisa disebut memiliki potensi untuk menjadi pandemi di 2020.
Selain itu Rasmussen juga mengatakan bahwa studi tentang virus G4 di balik flu babi tersebut disusun oleh para peneliti yang memiliki rekam jejak jelek dalam penelitian soal virus corona baru-baru ini.