"Saya tidak bisa membayangkan seberapa stress-nya saya kalau harus berbicara pada seorang penerjemah dari negara saya," katanya.
"Saya sadar di negara saya masih ada unsur homofobia dan seringkali perkataan dapat salah diterjemahkan atau dimengerti."
Masalah keadilan prosedural
Menurut beberapa pengacara imigrasi, seringkali pelamar visa perlindungan tidak diberitahu tentang kemungkinan media sosial mereka akan diperiksa petugas.
Baca Juga: Dapatkah Aksi Boikot Menjatuhkan Facebook?
Seorang juru bicara dari Departemen Dalam Negeri Australia mengatakan pelamar visa perlindungan diberi informasi mengenai bagaimana petugas Departemen Dalam Negeri bisa "menanyakan pertanyaan lebih lanjut jika dibutuhkan" untuk menentukan apakah mereka memenuhi syarat untuk visa tersebut.
Mengenai hal ini, Daniel Ghezelbash, peneliti hukum pengungsi di Macquarie Law School, mengatakan seharusnya ada pedoman jelas bagaimana petugas imigrasi dapat menggunakan bukti dari Instagram, Facebook, dan situs lainnya.
Selain itu, masalah lain menurutnya adalah bagaimana petugas imigrasi menunjukkan bukti yang didapat dari media sosial kepada pelamar visa.
Jika seorang petugas menemukan informasi dari Facebook yang bertolak belakang dengan keterangan pelamar, misalnya, mereka harus menunjukkannya kepada pelamar, sesuai dengan Hukum Migrasi dan memberikan mereka kesempatan untuk menanggapi.
Namun, dokumen Departemen Dalam Negeri Australia mengatakan petugas tidak memiliki kewajiban untuk memberitahu pelamar soal dari media sosial mana informasi mengenai pelamar mereka dapatkan.
Baca Juga: Facebook Pertahankan Kebijakan Ujaran Kebencian di Tengah Boikot
Namun di saat yang bersamaan, media sosial juga dapat digunakan oleh para pelamar untuk membuktikan alasan mereka memohon visa perlindungan.