Suara.com - Ketika seseorang membuat akun Facebook, mereka bisa saja berbohong tentang umur atau menggunakan gambar profil orang lain.
Namun, bagi orang-orang yang ingin tinggal di Australia untuk mencari perlindungan, tindakan ini berisiko.
Menurut pencari suaka dan pengacara imigrasi, petugas imigrasi Pemerintah Australia secara rutin memeriksa unggahan di media sosial untuk memastikan kebenaran identitas pemohon visa.
Ketika Tina Dixson diwawancara untuk memenuhi syarat melamar visa 'protection' atau perlindungan di tahun 2013, ia terkejut ketika petugas imigrasi memiliki cetakan profil LinkedIn-nya.
Baca Juga: Dapatkah Aksi Boikot Menjatuhkan Facebook?
Departemen Dalam Negeri Australia memiliki panduan yang merinci cara petugas imigrasi menggunakan Facebook sebagai bukti.
LinkedIn adalah jejaring sosial seperti Facebook yang memuat riwayat kerja dan memberi kesempatan bagi penggunannya untuk bertukar informasi soal pekerjaan.
Ia mengaku ingin tinggal di Australia karena mendapat tekanan dan diskriminasi sebagai bagian dari komunitas LGBTIQ dan aktivis hak asasi di negaranya.
Lewat LinkedIn Tina pernah mengunggah informasi mencari pekerjaan.
Saat itu, Tina sedang memegang visa 'bridging', atau visa sementara, dan tidak memiliki uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Baca Juga: Facebook Pertahankan Kebijakan Ujaran Kebencian di Tengah Boikot
Namun, petugas imigrasi yang memeriksa dokumen lamarannya menggunakan keterangan dari akun media sosialnya untuk menyimpulkan bahwa Tina sebenarnya adalah migran ekonomi dan bukan mencari perlindungan di Australia karena orientasi seksualnya.