Penyandang Autoimun di Tengah Aksi Borong Klorokuin saat Covid-19

BBC Suara.Com
Senin, 29 Juni 2020 | 06:30 WIB
Penyandang Autoimun di Tengah Aksi Borong Klorokuin saat Covid-19
[BBC].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kelompok penyandang penyakit autoimun dianggap termasuk yang berisiko tinggi terpapar virus corona karena sebagian besar dari mereka meminum imunosupresan, atau obat yang menekan dan menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Mereka butuh obat itu karena autoimun menyebabkan sistem kekebalan tubuh menyerang tubuh sendiri.

Selama wabah virus corona, para penyandang autoimun mengaku kesulitan mendapatkan obat itu karena obat-obatan mereka merupakan obat anti-malaria, seperti klorokuin dan hidroksiklorokuin, yang disebut bisa mengobati Covid-19.

Obat jadi 'langka dan mahal' karena banyak orang memburu.

Baca Juga: WHO Ultimatum Indonesia: Setop Beri Klorokuin ke Pasien Corona, Bahaya!

'Kelangkaan obat' membuat sejumlah penyandang autoimun bahkan mengalami kondisi kritis. Seperti salah satu penuturan yang dilaporkan wartawan Yuli Saputra untuk BBC Indonesia berikut ini.

Sesak napas hingga kondisi kritis

Awal Juni 2020, Fatimah Berliana Monica Purba, akrab dipanggil Monik terpaksa dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit di Kota Bogor, Jawa Barat, karena serangan sesak napas.

Sesak napas itu yang berasal dari autoimun yang diidapnya.

Monik terkena dua jenis autoimun, Antiphospolipid Syndrome (APS) dan Sjogren's Syndrome (SS). Kedua penyakit tersebut menyerangnya secara berturut-turut pada 2014 dan 2016.

Baca Juga: WHO Hentikan Uji Coba Klorokuin pada Pasien Covid-19

Sesak napas yang menyerang Monik kali itu, bahkan membuatnya dalam kondisi kritis, karena terjadi pembekuan darah di paru-paru sebagai dampak dari penyakit autoimunnya.

Monik berhasil keluar dari kondisi kritis setelah mengkonsumsi pereda sakit dosis tinggi dan terapi relaksasi otot.

Ini adalah sesak napas kedua yang menyerang Monik selama pandemi Covid 19. Serangan pertama terjadi pada akhir April lalu.

Dua kali serangan sesak napas itu diakui Monik, merupakan imbas dari diterapkannya status pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terkait merebaknya Covid-19.

"Waktu PSBB dimulai, itu kan keluar anjuran bila kondisinya tidak emergency, kita tidak ke rumah sakit karena kita komorbid, yang memiliki faktor berisiko tinggi terpapar penyakit dan akhirnya bisa menularkan. Masalahnya, kondisi kami ini harus rutin maintenance," ungkap Monik, saat berbincang melalui sambungan telepon, Rabu (17/6).

Sebagai penyandang autoimun APS dan Sjogren's Syndrome, Monik harus rutin tes darah, berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan dosis obat berdasarkan tes darah dan kondisi klinisnya.

Ia juga menjalani fisioterapi akibat kelumpuhan yang dialami setelah terserang stroke. Tes darah harus dilakukan setiap minggu dan fisioterapi tiga kali dalam seminggu.

"Sjogren's Syndrome menyebabkan kerusakan sendi-sendi. Jadi otomatis saya itu perlu fisioterapi rutin seminggu tiga kali. Terus saya punya autoimun APS yang menyebabkan saya mengalami kelainan darah.

Darah saya itu mengental dengan tidak normal, akibatnya saya sudah terkena stroke yang sudah terdeteksi terjadi dua kali. Nah, itu menyebabkan kelumpuhan, kelemahan separuh badan saya. Kebetulan kena otak kanan dulu, kemudian otak kiri. Otomatis perlu fisioterapi supaya saya bisa mengembalikan fungsi-fungsi syaraf saya yang rusak," kata perempuan yang tetap aktif sebagai konselor laktasi dan kesehatan ini.

Selama empat bulan masa PSBB, Monik terpaksa menghentikan total fisioterapi, termasuk mengunjungi tim dokternya.

"Berat, berat banget kondisinya buat kami. Akhirnya ada yang mencoba dengan metode video call, tapi mohon maaf tidak semua dokter mau melakukan hal tersebut. Saya mengerti banyak pemeriksaan yang harus melihat pasien karena kan harus dicek langsung," ujar Monik.

Sayangnya, kesulitan mengakses rumah sakit dan dokter, hanyalah satu dari sejumlah dampak pandemi Covid 19 bagi penyandang autoimun. Dampak lain yang disebut Monik "mengerikan" adalah kelangkaan obat.

Salah kaprah pemicu kelangkaan obat autoimun

Di awal mewabahnya virus corona, dua jenis obat antimalaria, hidroksiklorokuin dan klorokuin diklaim sejumlah ahli sebagai obat penyembuh penyakit Covid-19.

Klaim itu tersebar dan direspon publik Indonesia dengan memborong obat antimalaria tersebut.

Aksi borong mengakibatkan kelangkaan obat antimalaria. Kalaupun ada, harganya meroket tak terkendali.

Padahal obat anti malaria itulah yang selama ini menjadi obat rutin para penyandang autoimun.

Akhirnya, bisa ditebak, penyandang autoimun kesulitan mendapatkan obat imunomodulator itu, di tengah terbatasnya akses ke rumah sakit sebagai jalan mendapatkan obat secara resmi melalui dokter.

"Satu bulan sebelum pengumuman dari pemerintah (yang menyatakan) sudah mengimpor obat itu, orang beli kayak beli parasetamol dan apotek-apotek itu kehabisan."

"Mereka (apotek) main kasih (obat klorokuin), tanpa resep, tanpa indikasi apapun, dikasih. Mereka belinya berdus-dus. Apakah dijual lagi atau apa, itu saya tidak paham karena itu terjadi di depan mata saya sendiri," ungkap Monik.

Mirisnya lagi, lanjut Monik, dua obat itu dijual bebas di internet dengan harga yang tidak masuk akal. Sebelum pandemi, satu dus klorokuin dengan dosis satu bulan dijual dengan harga Rp 600 ribu. Tapi saat ini, harganya bisa mencapai jutaan rupiah.

"Jadi sekitar bulan April sudah chaos kita yang konsumsi hidroksiklorokuin dan klorokuin ini karena benar-benar kosong, habis dimana-mana, Tiap hari teman saya menelepon semua rumah sakit."

"Bahkan ada yang tinggal di Papua bolak-balik telepon rumah sakit di Jakarta atau tanya teman-teman yang punya channel untuk obat. Sangat putus asa waktu itu karena kita gak bisa menolong apa-apa."

"Teman-teman mulai unggah (informasi di grup) ada yang jual bebas di internet. Saya ngerinya, pertama, enggak tahu itu asli apa enggak, yang kedua harganya tidak masuk akal, benar-benar jahat yang jual. Biasanya satu kotak untuk sebulan itu Rp 600.000."

"Kemudian, teman posting Rp 1,25 juta yang dia dapat. Itu sudah yang termurah yang dia dapat di internet. Kemudian teman saya yang lain, dapatnya Rp 2,5 juta. Tapi dia tidak ada pilihan, soalnya dia sudah enggak minum obat selama sebulan," papar Monik.

Hidroksiklorokuin dan klorokuin merupakan obat jenis imunomodulator yang berfungsi mengendalikan sistem imun agar tidak menyerang dan merusak tubuh. Beberapa penyandang autoimun mengkonsumsi obat ini.

Dokter dan penyandang autoimun, Andini S. Natasari menyebutkan, obat ini wajib diminum rutin dan tidak boleh terputus, selama diresepkan dokter. Jika terputus atau berhenti mendadak, penyandang autoimun bisa flare up atau kambuh dengan gejala penyakit yang muncul secara berbarengan dan berat.

"Semua obat yang dari dokter harus tetap dikonsumsi sesuai petunjuk dokternya. Disetop kalau dokter yang menghentikan. Karena penyakit kronik, maka perlu berkesinambungan, jangan putus obat," kata Dinis, nama kecil Andini.

Belum habis salah kaprah terhadap hidrosiklorokuin dan klorokuin, kini muncul kabar mengenai deksametasone yang menurut penelitian bisa mengobati Covid 19.

Seperti dua jenis obat antimalaria itu, dexamethasone juga dikonsumsi beberapa penyandang autoimun yang berkhasiat mengurangi radang dan menekan imun.

Dinis khawatir masyarakat akan kembali salah kaprah menggunakan obat tersebut. Padahal obat ini, termasuk juga hidrosiklorokuin dan klorokuin, adalah obat keras yang memiliki efek samping membahayakan tubuh, jika diminum tanpa pengawasan dokter.

"Dexamethasone masuk golongan steroid. Ada yang menganggap obat itu adalah obat untuk sembuhkan Covid, padahal penelitian dari Oxford mengatakan obat itu digunakan untuk yang kondisinya sudah berat, sakit parah, pasien yang menggunakan ventilator. Kelihatannya orang-orang sudah mau beli obat itu, padahal efek sampingnya itu bahaya, tidak bisa digunakan sembarangan."

Pada pasien Covid dengan kondisi kritis, kata Dinis, respon imun berlebih dan menyerang tubuhnya sendiri atau yang dikenal dengan istilah badai sitokin. dexamethasone bisa menekan respon imun yang berlebih itu.

"Makanya tidak disarankan untuk pasien Covid ringan," kata Dinis.

Vitamin hingga alkohol swab pun diborong

Tak hanya aksi borong obat antimalaria, vitamin dan suplemen pun ikut diborong selama pandemi Covid-19. Bagi penyandang autoimun, kata Monik, obat utama mereka adalah kombinasi imunosupresan dan steroid, juga vitamin D serta beberapa suplemen. Harga sejumlah vitamin dan suplemen pun ikut-ikutan naik di masa pandemi ini.

"Hampir semua jenis vitamin mineral itu juga harganya jadi gila-gilanya. Untuk kami, vitamin itu jadi seperti obat, contohnya vitamin D. Seperti lingkaran setan, kami defiensi vitamin D karena autoimun dan autoimun menyebabkan defiensi vitamin D yang enggak bisa ditolong hanya dengan berjemur."

"Jadi, vitamin-vitamin juga susah, mahal. Harganya naik minimal dua kali lipat. Kalau steroid masih bisa kami akses karena sudah banyak yang generik, jadi harganya pun terjangkau," kata ibu dua orang putra ini.

Yang menyedihkan, lanjut Monik, tidak semua penyandang autoimun berasal dari keluarga mampu. Harga obat yang melonjak di masa pandemi menyulitkan mereka melanjutkan pengobatan.

"Pilihannya lebih baik mereka makan daripada beli obat karena tidak ditanggung BPJS. Penyakit kami sulit sekali ditanggung asuransi kesehatan secara umum. Autoimun itu hanya satu atau dua jenis saja (yang ditanggung asuransi)," ujar Monik.

Monik yang ikut berbagai komunitas autoimun, berkali-kali mendengar kabar memburuknya kondisi sejumlah teman sesama penyandang autoimun, bahkan ada yang meninggal dunia.

"Saya tidak tahu apakah yang meninggal di komunitas autoimun itu karena terkait mereka berhenti obat atau ada faktor lain sehingga memburuk kondisinya dan akhirnya meninggal karena saya tidak melakukan riset soal itu. Ini hanya pantauan saya dan teman-teman di komunitas, banyak sekali penderita yang memburuk selama Covid ini," tutur penulis "Buku Pintar ASI dan Menyusui ini".

Dinis, yang juga menjabat sebagai pendiri dan ketua Autoimun Indonesia, membenarkan kondisi beberapa penyandang autoimun yang memburuk dan meninggal di masa pandemi Covid 19.

Namun Dinis berkata, pihaknya tidak bisa memastikan kasus meninggalnya penyandang autoimun tersebut sebagai dampak pandemi.

"Kalau di grup, mereka komentar tidak bisa minum obat dan sekarang kondisinya memburuk, ada. Cuma kalau persentasenya, enggak ada. Kita enggak melakukan survei untuk itu karena di Indonesia penyandang autoimun sebetulnya lebih banyak dari anggota kita. "

"Yang meninggal juga ada, tapi mengaitkan langsung kalau meninggalnya akibat pandemi Covid 19, kita enggak bisa, harus diteliti," kata Dinis yang juga berprofesi sebagai dokter umum.

Tidak hanya obat dan vitamin, lanjut Dinis, salah kaprah juga terjadi pada penggunaan alkohol swab. Masyarakat sempat ramai membeli alkohol itu hanya untuk membersihkan telepon selular sehingga sempat terjadi kelangkaan.

Aksi sebagian masyarakat itu, menurut dia, meniru para pemberi pengaruh di media sosial. Kelangkaan alkohol swab juga menyulitkan penyandang autoimun, terutama pengidap diabetes tipe 1 dan APS yang membutuhkan cairan steril untuk injeksi insulin dan obat pengencer darah.

"Jadi selama pandemi ini kasihan penyandang autoimun. Psikologisnya yang paling terganggu karena ada ketakutan (tertular corona), kesusahan obat. Itu yang kita alami,' kata Dinis.

Nihil edukasi

Kelangkaan obat bagi penyandang autoimun saat pandemi, menurut Monik, dipicu minimnya pemahaman masyarakat. Monik menyebutkan, pemerintahlah yang semestinya mengedukasi masyarakat. Namun sejauh ini, Monik tidak melihat ada upaya tersebut.

"Saya menyesalkan saja, kenapa tidak seimbang (informasinya). Saya tahu pemerintah banyak yang harus dipikirin, tapi pemerintah punya tim kan, harusnya dari tim kesehatannya ada tim dokter yang kompeten. Ketika keluar mengenai pemerintah mengimpor obat-obatan yang dianggap obat Covid, tidak diikuti dengan edukasi."

"Saya sesalkan tidak berimbangnya kebijakan itu. Masyarakat hanya berpikir ada obatnya, tapi mereka enggak pernah tahu ada efek samping yang sangat berat, yang berbahaya, harus dalam pemantauan dokter dengan ketat. Tidak ada edukasi itu," ujar Monik.

Menurut Monik, hidroksiklorokuin dan klorokuin memiliki efek samping yang bisa mengakibatkan kerusakan organ tubuh, seperti mata dan hati, juga mengancam jiwa, jika diminum sembarangan.

"Saat saya mengkonsumsi hidrosiklorokuin dosis tinggi itu minimal sebulan sekali saya harus periksa mata. Hidrosiklorokuin ini bisa merusak retina mata dan bisa menyebabkan kebutaan. Gejala awalnya adalah kayak buram aja melihat."

"Khawatirnya masyarakat yang tidak paham bahwa matanya buram itu bisa jadi efek samping dan tidak mau ke dokter kemudian dibiarkan, masih terus minum (hidrosklorokuin), dikhawatirkan retinanya rusak permanen sehingga menyebabkan kebutaan. Ini tanpa menyebutkan efek lainnya seperti kerusakan pada ginjal dan hati," tutur Monik.

Sementara itu, Dinis mengaku telah menyampaikan aspirasi ke MPR terkait kondisi yang dialami penyandang autoimun saat pandemi Covid 19. Hanya saja, aspirasi tersebut tidak disampaikan langsung, tetapi melalui daring seiring diberlakukannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

"Ada upaya untuk menyampaikan hal tersebut, terutama supaya obat kami harganya tidak melambung dan lebih dimudahkan akses untuk berobat supaya tetap aman," kata Dinis.

Wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC Indonesia menghubungi Farichah Hanum, Direktur Kualitas Layanan Kesehatan Kemenkes melalui pesan singkat meminta tanggapan mengenai layanan kesehatan bagi para penyandang autoimun ini. Namun hingga berita ini diturunkan Farichah belum menjawab.

Hingga kini, belum ada data pasti mengenai jumlah penyandang autoimun di Indonesia.

Komunitas Autoimun Indonesia yang didirikan Dinis, tergabung 2.000 orang anggota yang mengidap berbagai macam penyakit autoimun. Namun, menurut Dinis, angka itu belum menggambarkan jumlah penyandang autoimun yang sebenarnya.

"Di Indonesia, penyandang autoimun sebetulnya lebih banyak dari yang ada di member kita," ujar Dinis.

Sementara dalam data Syamsi Dhuha, komunitas penyandang lupus-salah satu jenis penyakit autoimun, diperkirakan penyandang lupus di Indonesia mencapai 135.000-270.000 orang berdasarkan prevalensi 0,05 persen - 0,1 persen dari jumlah 270 juta penduduk Indonesia.

"Belum ada data penyandang autoimun keseluruhan karena variasinya yang luas," kata Dian Syarief Ketua Syamsi Dhuha.

Dikutip dari situs Kementerian Kesehatan, terdapat 80 jenis penyakit autoimun. Penyakit ini kebanyakan menyerang perempuan di usia produktif.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI