Sayangnya, kesulitan mengakses rumah sakit dan dokter, hanyalah satu dari sejumlah dampak pandemi Covid 19 bagi penyandang autoimun. Dampak lain yang disebut Monik "mengerikan" adalah kelangkaan obat.
Salah kaprah pemicu kelangkaan obat autoimun
Di awal mewabahnya virus corona, dua jenis obat antimalaria, hidroksiklorokuin dan klorokuin diklaim sejumlah ahli sebagai obat penyembuh penyakit Covid-19.
Klaim itu tersebar dan direspon publik Indonesia dengan memborong obat antimalaria tersebut.
Baca Juga: WHO Ultimatum Indonesia: Setop Beri Klorokuin ke Pasien Corona, Bahaya!
Aksi borong mengakibatkan kelangkaan obat antimalaria. Kalaupun ada, harganya meroket tak terkendali.
Padahal obat anti malaria itulah yang selama ini menjadi obat rutin para penyandang autoimun.
Akhirnya, bisa ditebak, penyandang autoimun kesulitan mendapatkan obat imunomodulator itu, di tengah terbatasnya akses ke rumah sakit sebagai jalan mendapatkan obat secara resmi melalui dokter.
"Satu bulan sebelum pengumuman dari pemerintah (yang menyatakan) sudah mengimpor obat itu, orang beli kayak beli parasetamol dan apotek-apotek itu kehabisan."
"Mereka (apotek) main kasih (obat klorokuin), tanpa resep, tanpa indikasi apapun, dikasih. Mereka belinya berdus-dus. Apakah dijual lagi atau apa, itu saya tidak paham karena itu terjadi di depan mata saya sendiri," ungkap Monik.
Baca Juga: WHO Hentikan Uji Coba Klorokuin pada Pasien Covid-19
Mirisnya lagi, lanjut Monik, dua obat itu dijual bebas di internet dengan harga yang tidak masuk akal. Sebelum pandemi, satu dus klorokuin dengan dosis satu bulan dijual dengan harga Rp 600 ribu. Tapi saat ini, harganya bisa mencapai jutaan rupiah.