Di sana, militer Myanmar dituding melakukan pelanggaran HAM serius, antara lain berupa operasi pembersihan desa-desa yang oleh PBB disebut sebagai "genosida."
Pemadaman internet di Myanmar diklaim memiliki landasan hukum pada Pasal 77 UU Telekomunikasi, yang memberikan wewenang kepada Kementerian Transportasi dan Komunikasi untuk menangguhkan layanan telekomunikasi dan membatasi sejumlah bentuk komunikasi dalam situasi "darurat".
Vicky Bowman, Direktur Centre for Responsible Business, sebuah lembaga wadah pemikir di Myanmar, mengatakan, undang-undang tersebut melanggar prinsip dasar Hak Asasi Manusia.
Menurutnya UU tersebut "tidak memiliki payung pelindung, seperti memastikan alasan pemadaman harus ditentukan oleh konstitusi, bahwa harus ada sasaran yang legitim dan prosesnya dilakukan secara proporsional." kata dia.
Baca Juga: Misterius, Motor NMAX Ditinggal Lama di Alun-Alun Sampai Polisi Bingung
UU itu juga "tidak mencantumkan kewenangan pengawasan yang demokratis atau transparan," imbuh Bowman kepada DW.
U Zaw Htay, Jurubicara pemerintah, sebaliknya mengaku pemerintah Myanmar memahami kekhawatiran pegiat HAM, namun menegaskan keamanan menjadi prioritas utama di kedua negara bagian.
Pemerintah akan menyediakan semua bantuan yang diperlukan untuk mendukung militer memerangi kelompok separatis.
"Meski mereka tidak memiliki akses internet, operator telekom secara rutin mengirimkan informasi seputar Covid-19 melalui pesan SMS," kata Zaw.
Pada 12 Juni silam Kementerian Transportasi dan Komunikasi mengumumkan perpanjangan pemadaman internet sampai setidaknya 1 Agustus 2020.
Baca Juga: Minim Informasi, Sekelompok Orang Ini Masih Tak Tahu Ada Pandemi Covid-19
"Kami akan memulihkan layanan internet jika tidak ada lagi ancaman keamanan terhadap publik atau pelanggaran UU Telekomunikasi," kata Soe Thein, Sekretaris Tetap di Kementrian. rzn/ml