"Dalam hal evolusi, kelelawar dan manusia sangat jauh satu sama lain, dan jika benar SARS-COV-2 berasal dari kelelawar, virus itu mungkin menyebar lewat perantara lain."
Jika memang kelelawar adalah sumber awal virus, kelelawar tidak mungkin menyebarkannya ke manusia. Trenggiling kini dicurigai sebagai perantara yang potensial.
Jadi, siapa yang harus disalahkan?
Tanshi dan rekan sesama ilmuwan sepakat bahwa manusia--bukan kelelawar--yang harus disalahkan atas wabah dan penyebaran virus corona di antara populasi manusia.
Baca Juga: #GerakanOtomotifNasional oleh Tokopedia dan Kemenperin RI
Dr Webala mengatakan aktivitas manusia telah menciptakan badai yang sempurna bagi pandemi ini.
"Masuknya manusia ke habitat satwa liar serta berkurangnya dan rusaknya habitat akibat ini, ditambah dengan transportasi, penyimpanan, dan perdagangan satwa liar menciptakan kondisi yang ideal bagi penyebaran pathogen di antara spesies yang sebelumnya tidak memiliki kontak langsung."
"Beberapa bukti menunjukkan risiko wabah zoonotik, atau wabah penyakit yang bersumber dari hewan, namun loncat ke manusia meningkat seiring dengan destruksi habitat," kata Tanshi.
Membunuh kelelawar tidak akan melindungi kita dari virus corona. Sebaliknya, membunuh kelelawar secara massal dan menyingkirkan mereka dari habitatnya justru bisa memperburuk suasana, kata konservasionis.
"Sekitar 70 persen dari lebih dari 14.000 spesies kelelawar adalah insektivora, yang berarti mereka hanya makan serangga dan binatang arthropoda lainnya [jenis hewan yang tidak memiliki tulang belakang, dengan kulit luar yang keras, tulang-tulang kakinya menyatu, dan tubuh yang terbagi dalam beberapa bagian yang berbeda]," kata Dr Webala.
Baca Juga: Buka Kembali, Museo Storico Alfa Romeo Pilih Hari Bersejarah Ini
"Banyak serangga terbang dan nokturnal yang dimakan kelelawar adalah vektor untuk patogen yang relevan dengan kesehatan manusia," katanya. Dengan kata lain, mereka membawa penyakit yang bisa menyebar ke manusia, seperti demam berdarah dan malaria.