Suara.com - Para ilmuwan dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat membuat database pertama yang berisi semua uji coba penggunaan obat untuk Virus Corona (Covid-19), mengingat ada ratusan penelitian di luar sana mengenai Covid-19 yang tersebar. Tim ahli juga menerbitkan laporan pertama yang menganalisis data ini dalam Penyakit dan Terapi Infeksi.
Penelitian ini memuat obat-obat yang telah melewati uji keamanan dan sudah dilisensikan untuk digunakan.
"Kami tidak bisa memenangkan pertarungan ini jika kami tidak mengambil stok alat (obat) yang sudah digunakan dan mencari yang baru yang bisa efektif," ucap Dr David Fajgenbaum, penulis utama penelitian, seperti dikutip dari IFL Science pada Selasa (16/6/2020).
Dr David Fajgenbaum menggunakan pendekatan serupa yang digunakannya delapan tahun lalu. Saat itu, ia terserang penyakit Castleman multisentrik idiopatik. Sebuah gangguan peradangan jarang ditemui dan sering fatal. Ia mulai mengidentifikasi kerusakan seluler pada kondisinya dan menggunakannya untuk mengidentifikasi obat yang telah ada. Obat yang disebut Sirolimus menyelamatkan hidupnya dan sekarang ia membantu orang lain dengan penyakit serupa.
Baca Juga: Barito Putera Sambut Baik Wacana Yogyakarta Jadi Homebase Tim Luar Jawa
"Kami memutuskan untuk mengambil tindakan, menggunakan pendekatan yang sama yang membantu saya dan menerapkannya untuk berpotensi membantu menemukan petunjuk yang menjanjikan dalam pengobatan Covid-19," tambah Dr David Fajgenbaum.
Basis data yang terus diperbarui, saat ini dengan 44.000 pasien, tersedia di Covid Registry of Off-label & New Agents (CORONA). Laporan awal menggabungkan 146 penelitian yang cocok dilakukan sebelum 27 Maret. Ini mencakup lebih dari 9.000 pasien, sebagian besar berasal dari China.
Sebanyak 72 persen pasien dalam penelitian menggunakan antivirus yang dikenal dalam kategori paling umum, walaupun banyak juga mendapatkan perawatan dari kelas obat lain. Tahap ini termasuk 2.000 pasien penerima opinavir/ritonavir, sementara hanya 114 diberi Hydroxychloroquine atau chloroquine.
Di antara perawatan paling umum, pasien yang rata-rata sepuluh hari sebelum gejala telah menunjukkan kesembuhan diberi Interferon, sementara pasien dengan pengobatan Oseltamivir memakan waktu hampir dua kali lebih lama.
Namun, penelitian dalam laporan ini adalah penelitian observasional, bukan terkontrol. Akibatnya, pasien dengan terapi obat-obatan tertentu mungkin mulai mengalami gejala lebih parah daripada dalam uji coba lain.
Baca Juga: Pernyataan Kontroversi Kapten Watford: Tiap Klub Inggris Punya Pemain Gay
Hal ini membuat perbandingan jauh lebih kompleks daripada yang ditunjukkan oleh angka-angka dalam laporan. Dan alih-alih mengungkap keberhasilan satu obat, tujuan utama laporan ini adalah memberikan petunjuk tentang obat-obatan mana perlu diselidiki lebih dalam.
"Beberapa obat ini sebenarnya telah dievaluasi dalam uji klinis formal. Jauh lebih sulit untuk memahami seberapa baik suatu obat bekerja ketika tidak ada kelompok pembanding. Ini sangat penting untuk penyakit seperti Covid-19," jelas Dr David Fajgenbaum.
Lebih dari 160 obat yang telah diuji coba sejauh ini, Dr David Fajgenbaum menganggap beberapa di antaranya menjanjikan. Berdasarkan penelitian awal dan mekanisme aksi, ia menyebut sangat optimis dengan obat seperti tocilizumab dan siltuximab.
Catatan dari Redaksi: Mari bijaksana menerapkan aturan jaga jarak dengan orang lain atau physical distancing, sekitar 2 m persegi, dan selalu ikuti protokol kesehatan tata normal baru. Gunakan masker setiap keluar rumah dan jaga kebersihan diri terutama rutin cuci tangan. Selalu saling dukung dan saling jaga dengan tidak berdiri berdekatan, menggerombol, serta mengobrol, dalam mengatasi pandemi Corona Virus Disease atau Covid-19. Suara.com bergabung dalam aksi #MediaLawanCovid-19. Informasi seputar Covid-19 bisa diperoleh di Hotline Kemenkes 021-5210411 atau kontak ke nomor 081-2121-23119