Suara.com - Bunga, bukan nama sebenarnya, menekan "sign up" pada aplikasi kencan, Tinder, selang sekian minggu setelah putus dari hubungan pacaran yang bermasalah. Perempuan 26 tahun ini hendak mencari relasi tanpa komitmen dan Tinder dianggap cocok dengan tujuannya itu.
Awal 2018, Bunga kencan dengan seorang pria yang berlanjut dengan hubungan satu malam. Pria itu memang mengaku punya pacar, tetapi statusnya "open relationship," katanya. Bunga percaya.
"Setelahnya aku baru tahu dia ternyata punya pacar dan mereka tidak open relationship," ungkap perempuan itu.
Itu bukan satu-satunya pengalaman buruk yang dialami Bunga saat menggunakan aplikasi yang berslogan "match, chat, date" itu. Pelecehan seksual secara verbal beberapa kali dialami pegawai kantoran ini.
Baca Juga: Lenovo Kenalkan Laptop Tipis Yoga Slim 7
"Ada orang yang menyapa dengan kata-kata yang nggak pantas, enggak sopan ke perempuan. Nah, itu aja udah termasuk pengalaman buruk," ujar Bunga kepada wartawan Yulia Saputra di Bandung yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Diklaim sering terjadi pelecehan seksual di aplikasi kencan, tidak hanya kata-kata kotor
Bahkan bisa lebih parah lagi, seperti yang dialami Ades. Perempuan berusia 20-an tahun ini, pernah diteror foto alat kelamin yang dikirim salah satu lelaki kenalannya di Tinder.
"Ketika nggak langsung hubungan seksual yang ketemu langsung, aku pernah diminta ID Line, terus dikasih. Belum ngobrol apa-apa, dia baru bilang, 'Hai Des, langsung nge-pap (post a picture) alat kelamin'," kata mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Bandung ini.
Gangguan kesehatan mental
Baca Juga: Vespa 946 Christian Dior, Karya Otomotif Selera Rumah Adibusana
Ades mulai mencari teman kencan di Tinder pada pertengahan 2019. Kala itu ia merasa kesepian karena jauh dari keluarga yang tinggal di kota lain. Ades juga merasa telah dewasa dan menganggap sudah waktunya mencari pasangan yang serius.
Namun, mencari pasangan di sebuah aplikasi kencan memang tidak selalu mudah. Ades pernah mengalami penolakan yang berdampak pada kesehatan mentalnya.
"Awal di-ghosting (ditinggalkan tanpa kabar) jadi mempertanyakan self-value. Emang salah saya. Saya jadi merasa nggak percaya diri, emang saya kurangnya di mana," ungkap Ades.
Aplikasi kencan, kata Ades, memang sangat menguji kesehatan mentalnya, terutama kemampuan untuk mencintai diri sendiri atau self-love.
Pengguna aplikasi kencan pun rentan mengalami gaslighting atau salah satu bentuk penyiksaan psikologis dalam sebuah hubungan interpersonal.
"Hal buruk dari dating apps yang pertama terserang itu self-love. Gaslighting juga sering banget kejadian. Yang sering banget terjadi juga kayak di bio-nya nyari partner yang serius, ternyata nyari pasangan lain atau hubungan seks."
"Memalsukan informasi itu sering terjadi. Ada juga yang nggak bilang kalau misalnya dia sudah menikah atau punya pacar. Jadi benar-benar melatih trust," kata Ades.
Ades merasa beruntung bergabung dalam komunitas yang membuatnya belajar menghadapi hubungan yang tidak sehat sehingga paham cara melindungi diri dari pelecehan dan kekerasan seksual di aplikasi kencan.
"Cuma enggak terbayang kalau orang yang enggak tersentuh ilmunya sama sekali, pasti bisa menyerang [mentalnya], selain self-love, mungkin juga bisa kena kekerasan seksual dan kekerasan psikologis," ujarnya.
Ancaman "kekerasan digital" di aplikasi kencan
Samahita, organisasi yang giat mengkampanyekan anti kekerasan dan pelecehan seksual mengelompokkan kekerasan dan pelecehan seksual dalam aplikasi kencan sebagai kekerasan digital.
Pada 2015, Samahita mulai menangani kasus kekerasan digital saat menerima aduan pertama korban kekerasan seksual di aplikasi kencan. Sejauh ini, ada lima kasus yang ditangani, tiga di antaranya didampingi Samahita.
Modus kejahatannya beragam
"Permasalahan utamanya adalah persepsi tentang consent (izin). Banyak pelaku beranggapan bahwa dating apps digunakan oleh mereka yang mau berhubungan seksual. Yang bikin miris, apps ini digunakan juga oleh kelompok remaja [SMA]. Salah satu kasus yang kami terima dialami oleh anak SMA yang menggunakan aplikasi pertemanan, SAYA," papar Ressa Ria Lestari, Ketua Samahita.
Kebanyakan korban datang mengadu ke Samahita dalam kondisi ketakutan dan sering mengalami serangan panik atau cemas.
Ressa menuturkan, beberapa di antara korban mengaku diancam oleh pelaku dengan menggunakan video atau foto ketika mereka berhubungan atau melakukan aktivitas seksual yang dibuat tanpa sepengetahuan korban.
"Kebanyakan kasus yang Samahita dapat, pelecehan atau kekerasan seksualnya terjadi di pertemuan pertama. Setelah itu pelaku nggak bisa dilacak," kata Ressa yang menduga kuat pelaku sengaja mencari korban lewat aplikasi kencan.
Sayangnya, sebagian besar korban tidak mau lapor ke polisi
"Kebanyakan karena takut keluarganya tahu. Ini memang salah satu kesulitan Samahita. Jadi yang bisa kita lakukan fokus pada pemulihan trauma korban," ujar Ressa.
Pendampingan yang dilakukan Samahita sejauh ini adalah menyediakan akses yang dibutuhkan korban, seperti akses konsultasi hukum dan psikologi.
Samahita sendiri bertugas menjadi pendamping sosial yang bertugas membantu korban untuk kembali percaya diri dengan cara memberikan dukungan kepada korban.
Pendampingan sosial yang dilakukan Samahita, kata Ressa, seperti halnya konsep peer counselling, yaitu menjadi teman curhat bagi korban dengan menjamin kerahasiaan dan tanpa penghakiman.
Psikiater Jiemi Ardian mengatakan, kebanyakan dari pasiennya yang sebagian besar anak muda mengalami kekerasan saat berkencan melalui aplikasi daring, meski, dia tidak mengungkapkan berapa banyak kasusnya.
"Pasien saya rata-rata anak muda, jadi yang kayak gitu banyak," ungkap Jiemi.
Meski lebih banyak dimanfaatkan anak muda, namun Jiemi mengingatkan, siapa pun bisa mengakses aplikasi kencan.
Hanya saja, ada beberapa kriteria orang yang cenderung menggunakan aplikasi kencan untuk mendapatkan pasangan. Salah satunya, mereka yang takut mendapat penolakan.
"Karena penolakan itu menyakitkan, maka lebih mudah menghadapi penolakan di dunia maya dibanding dunia nyata. Dan bagi beberapa orang, dating apps adalah alur yang tepat untuk dipilih."
"Kalau pun ditolak, ya nggak kelihatan juga. Bisa juga karena kecemasan atau takut karena pernah dikecewakan sehingga melampiaskannya atau nyari pasangannya ke sana dengan banyak kemungkinan, bisa juga nyari pasangan serius," kata Jiemi.
Mengenai dampak penggunaan aplikasi kencan pada kesehatan mental, Jiemi mengungkapkan, belum ada penelitian yang bisa mengungkap hal tersebut.
Sementara ini, dampak langsung aplikasi kencan terhadap kesehatan mental "hanya sebatas asumsi".
"Tapi hipotesis itu tidak pernah terbukti secara ilmiah. Hubungannya ada, tapi tidak pernah secara langsung. Contoh, saya cemas, saya takut ketemu orang, makanya saya pakai dating apps. Karena saya cemas, saya takut ketemu orang dan saya pakai dating apps, akhirnya setiap diajak ketemu, canggung, kemudian ditolak."
"Saya pakai dating apps lagi, ketemu, canggung, ditolak lagi, padahal di-chat sudah enak. Akhirnya saya terus-menerus merasa ditolak, saya makin cemas. Diasumsikan, dia pakai dating apps makin cemas, padahal nggak. Itu tidak sesederhana, karena ada teknologi mengakibatkan gangguan jiwa. Hal itu tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak sepenuhnya salah," kata Jiemi.
Kendati demikian, Jiemi mengakui, aplikasi kencan membuat jumlah kekerasan psikologis dan seksual cepat bertambah.
"Fasilitas itu tidak sepenuhnya salah karena itu memudahkan bertemu orang baru, memudahkan ketemu dengan orang yang kriterianya sesuai, itu kan memudahkan. Tapi hidup kan selalu punya dua sisi, ada potensi sebaliknya," kata Jiemi.
"Kalau kita melihat harm yang terjadi pada online dating, misalnya pemerkosaan atau bahkan sesederhana penolakan, itu jumlahnya bertambah dengan cepat karena ada fasilitas ini, yang mungkin sebetulnya dulu [potensi kekerasannya] ada tapi karena nggak ada pool yang mewadahi, itu semua jadi terpisah, terpecah," katanya.
Waspada predator seks
Menurut Jiemi, para pengguna aplikasi kencan sebaiknya waspada terhadap predator seks.
Cara mengetahuinya adalah dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap orang yang terlalu baik atau memberikan perhatian berlebihan.
"Kalau dia balas chat dengan durasi yang lama artinya ada sesuatu yang dicari di sana. Kita harus waspada karena ketika kita sudah memandang seseorang superior akhirnya barrier dalam diri kita akan diturunkan, akhirnya malah ada potensi kita dimanipulasi, hati-hati," kata Jiemi.
"Hati-hati juga kalau pada pertemuan-pertemuan awal sudah ada pembicaraan ke arah seksual, kecuali kalau kita punya consent untuk itu, sebaiknya hindari. Hal itu biasanya sudah ada kecenderungan dari awal dia mencari hanya pasangan seksual saja."
Sementara itu, berdasarkan pengalamannya, Bunga mengingatkan, agar selalu mengecek latar belakang pasangan kencan sebelum bertemu langsung.
"Aku kalau match di Tinder, selalu cek latar belakang si orangnya. Orang bilang nge-poin, tapi demi keamanan aku sendiri, aku cari di Google, Instagram, dan LinkedIn. Aku pengin tahu dia kerja di mana karena untuk make sure orang ini bukan akun bodong dan nggak palsu," katanya.
Bunga juga selalu mengajak temannya untuk mengawasi dari kejauhan atau setidaknya memberitahu siapa teman kencannya dan lokasi mereka bertemu.
Tak jarang, Bunga juga membagikan live location kepada sejumlah temannya agar dapat memantau keberadaannya.
"Jadi aku punya teman-teman yang selalu aku kasih tahu akan ketemu dengan orang ini, dari dating apps, share live location biar teman-teman tahu dan ketemunya harus di tempat ramai di kafe atau bar. Yang jelas tempat yang di mana banyak orang," sebut Bunga.
Lain dengan Ades yang lebih memilih menguatkan diri agar tidak berdampak pada kesehatan mentalnya dengan cara melakukan refleksi diri ketika mengalami penolakan.
Ades pun makin spesifik menentukan kriteria pasangan yang dicari. Tujuannya, agar mempertahankan standar diri.
"Kalau memang enggak cocok sama kriteria, aku enggak akan nurunin standar dan bakal ngomong right to the point. Jadi mulai membudayakan meninggalkan dengan alasan yang jelas supaya dia enggak menyalahkan diri sendiri," ujarnya.