Suara.com - Ilmuwan menyebut meluncurkan vaksin virus Corona (Covid-19) terlalu cepat bisa menimbulkan masalah karena mereka tidak akan tahu berapa lama vaksin itu menawarkan perlindungan.
Menurut profesor Robin Shattock, ilmuwan yang memimpin uji coba vaksin di Imperial College London, mengakui bahwa bisa berbahaya untuk memberikan dosis sementara teka-teki tentang kekebalan tubuh terhadap Covid-19 masih belum terpecahkan.
Para ilmuwan belum mengungkap bukti kekebalan tubuh yang kuat, menimbulkan kekhawatiran bahwa pasien yang selamat dapat terinfeksi ulang setelah melawan penyakit tersebut.
Biasanya jika seseorang terkena virus Corona, yang dapat menyebabkan flu biasa, mereka hanya akan memiliki kekebalan selama beberapa bulan. Namun, kekebalan terhadap SARS, jenis virus Corona yang paling erat dengan kaitannya dengan Covid-19, bertahan selama sekitar dua tahun.
Baca Juga: Tak Baca Keterangan Barang, Komplain Pembeli iPhone Ini Bikin Ngakak
Uji coba vaksin eksperimental pada manusia masih dalam tahap awal. Artinya, masih belum jelas apakah vaksin dapat menawarkan kekebalan. Tetapi profesor Shattock mengatakan bahwa diketahui infeksi virus Corona lainnya dapat memberikan kekebalan yang relatif singkat.
"Saya pikir salah satu bahaya yang mungkin kita lihat adalah jika vaksin diluncurkan lebih awal setelah beberapa bulan analisis data, kita tahu itu protektif selama beberapa bulan, tapi kita tidak akan tahu apakah vaksin memberikan kekebalan jangka panjang. Jadi bahaya jika diberikan terlalu cepat dan kita perlu terus memantau untuk melihat durasinya," ucap profesor Shattock dalam webinar Royal Society of Medicine, seperti dikutip dari Dailymail pada Kamis (11/6/2020).
Vaksin yang dibuat Imperial College London akan diberikan kepada peserta uji coba pekan depan untuk penelitian selanjutnya. Saat ditanya kapan vaksin dari Imperial akan tersedia, profesor Shattock mengatakan, itu tidak akan siap sebelum Natal tetapi mungkin dalam dua kuartal pertama tahun depan jika semuanya berjalan dengan baik.
Di sisi lain, profesor Shattock juga mengatakan timnya tidak bersaing dengan Universitas Oxford, kandidat vaksin terkemuka lainnya di Inggris.
Kedua vaksin telah dibandingkan satu sama lain selama beberapa minggu. Vaksin Oxford telah dalam uji coba sejak 23 April. Menurut profesor Shattock, ada cukup banyak perbedaan antara vaksin yang dikembangkan oleh Imperial dan Oxford.
Baca Juga: Lagi, Studi Terbaru Sebut Perokok Berisiko Lebih Kecil Terkena Covid-19
Vaksin Imperial didasarkan pada RNA, suatu bentuk materi genetik yang ditemukan dalam virus dan mirip dengan DNA. Para ilmuwan menyalin lonjakan (spike) unik pada permukaan virus Corona dan memasukkannya ke dalam vaksin yang tidak berbahaya.
Ketika disuntikkan ke dalam tubuh, lonjakan RNA akan memicu reaksi dari sistem kekebalan dengan cara yang sama seperti virus, tetapi tidak berbahaya. Diharapkan jika seseorang yang menerima inokulasi kemudian mengontrak virus Corona, mereka akan dilindungi terhadap Covid-19.
Sementara vaksin Oxford dikenal sebagai vaksin vektor virus rekombinan. Para ilmuwan menempatkan materi genetik dari virus Corona ke dalam virus lain, yang disebut adenovirus, yang telah dimodifikasi.
Tim ahli kemudian akan menyuntikkan virus ke manusia, berharap untuk menghasilkan respon kekebalan terhadap Covid-19. Ini bisa melatih tubuh untuk menghancurkan virus Corona yang sebenarnya jika orang tersebut terinfeksi di masa depan.
Para menteri mengatakan bahwa pemerintah Inggris berharap dapat meluncurkan program vaksinasi massal pada musim gugur tahun ini. Kesepakatan telah ditandatangani dengan AstraZeneca untuk memproduksi 100 juta dosis vaksin Oxford untuk Inggris, di mana 30 juta di antaranya akan siap pada September mendatang.
Profesor Shattock sebelumnya mengatakan, sangat tidak mungkin vaksin akan tersedia untuk digunakan pada September. Pasalnya, menghasilkan dosis vaksin sangat berbeda dengan memiliki data yang diperlukan, untuk menunjukkan bahwa vaksin apa pun aman dan efektif untuk melawan Covid-19.