Suara.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan pihaknya masih mengamati fenomena rentetan gempa Selat Sunda yang berlangsung sejak Minggu (7/6/2020) dan mewaspadai adanya potensi gempa yang lebih besar.
Hingga Senin pagi (8/6/2020) tercatat ada 9 gempa tektonik yang mengkluster di Selat Sunda. Saat ini BMKG masih terus memonitor apakah fenomena kegempaan di Selat Sunda ini hanya sebatas gempa swarm biasa yang kemudian berakhir dengan sendirinya atau kemungkinan berlanjut sebagai gempa pendahuluan (foreshocks).
"Jika sampai malam nanti tidak ada aktivitas lagi maka sangat kecil kemungkinan merupakan gempa pendahuluan. Semoga teka-teki ini segera terjawab. Harapan kita aktivitas itu hanyalah gempa swarm biasa dan berakhir tanpa ada sesuatu yang tidak diharapkan," tulis Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono lewat akun Facebook-nya, Senin petang.
Rentetan gempa itu, jelas Daryono bermula sejak Minggu malam. Ketika itu, BMKG mencatat adanya aktivitas gempa tektonik yang terjadi beruntun. Gempa pertama terjadi pada pukul 19.04 WIB dengan magnitudo 2,9. Enambelas menit kemudian terjadi lagi gempa dengan magnitudo 3,3.
Baca Juga: Isu Badai di Selat Sunda Bikin Ribuan Nelayan Pandeglang Takut Melaut
"Aktivitas gempa ini terus terjadi sambung menyambung. Rentetan gempa tektonik ini memiliki magnitudo yang bervariasi. Magnitudo gempa yang paling besar 3,9 dan yang paling kecil 2,9 membentuk grombolan atau kluster episenter," terang Daryono lebih lanjut.
Menariknya lagi bahwa kluster seismisitas ini terletak pada pusat gempa dengan magnitudo 5,0 yang terjadi pada hari Sabtu 11 April 2020 lalu.
"Jika mencermati lokasi sebaran episenter terkait dengan peta tektonik Selat Sunda, tampak bahwa rentetan aktivitas gempa ini terletak pada jalur Sesar Semangko yang menerus ke laut," imbuh dia.
Meski demikian, kata Daryono struktur sesar di zona ini tampaknya sudah bukan lagi didominasi sistem sesar mendatar (strike slip fault), tetapi sudah berubah menjadi beberapa struktur sesar turun (normal fault) karena adanya mekanisme pull-apart yang membentuk basin/graben Selat Sunda.
Graben Selat Sunda ini terbentuk karena adanya fenomena peregangan dampak dari bagian Pulau Sumatra yang bergerak searah jarum jam dengan menjadikan zona Selat Sunda sebagai prorosnya.
Baca Juga: Tinggi Tsunami Selat Sunda pada Desember 2018 Lalu Ternyata Capai 100 Meter