Suara.com - Setelah melakukan pencarian selama 30 tahun, para ilmuwan akhirnya menemukan materi yang menghilang (baryonik) dari alam semesta.
Menggunakan gelombang radio super cepat, para ilmuwan akhirnya mendapati materi hilang tersebut ialah gas panas yang tersembunyi di seluruh ruang antargalaksi.
Sekitar akhir tahun 90'an, para kosmolog berpendapat bahwa 5 persen unsur yang terdapat di alam semesta harus dibuat dari materi normal. Ketika mereka melakukan perhitungan, hanya setengahnya saja yang bisa dijelaskan secara ilmiah sehingga munculah baryonik.
Kini setelah 30 tahun berlalu, para peneliti dari Australia, telah menemukan semua materi 'yang hilang' itu ternyata menyebar tipis melintasi ruang antargalaksi.
Baca Juga: Targetkan Vlogger, Sony Perkenalkan Kamera Pocket ZV-1
Materi ini dijuluki Warm Hot Intergalactic Medium (WHIM) yang terdiri dari jutaan plasma panas, dengan tingkat kerapatan rendah yang menyebar ke alam semesta.
Mereka akhirnya dapat mendeteksi materi yang hilang ini menggunakan kilatan energi misterius yang dikenal sebagai 'ledakan radio cepat'.
Saat semburan radio ini bergerak melalui WHIM dalam perjalanan ke Bumi, gelombang radio tersebut mereka menyebar sehingga memungkinkan para ahli untuk mengukur kepadatan Semesta di sepanjang jalur yang dilalui oleh gelombang.
"Kita tahu dari peristiwa Big Bang, seberapa banyak masalah yang ada di awal semesta. Tetapi ketika kita melihat ke semesta yang sekarang, kita tidak dapat menemukan setengah dari apa yang seharusnya ada di sana. Itu sedikit memalukan," terang astronom sekaligus penulis studi Jean-Pierre Macquart dari International Centre for Radio Astronomy Research, seperti dikutip laman Daily Mail, Minggu (31/5/2020).
Meski dianggap telat menemukan materi ini, namun Macquart menjelaskan bahwa para peneliti memang menghadapi tantangan besar untuk mengungkap misteri ini.
Baca Juga: Pemakaian Ventilator Pasien Covid-19 Dikaji Ulang, Kenapa?
"Ruang intergalaksi sangat jarang terjamah. Materi yang hilang setara dengan hanya satu atau dua atom yang ada di Bumi. Jadi, sangat sulit untuk mendeteksi masalah ini menggunakan cara tradisional maupun teleskop," imbuhnya.