Sampel dilarutkan ke dalam larutan fosfat alias phosphate-buffered saline (PBS) dengan pH 7.4. Kemudian, sampel diletakkan di atas sensor dan dialirkan arus listrik.
Ketika mereka memberikan sampel protein spike murni, atau hasil pengembangbiakan virus SARS-CoV-2 ke sensor, atau sampel swab lendir dari pasien COVID maka terjadi ikatan dengan antibodi pada sensor yang menyebabkan arus listrik yang mengalir lebih besar dibandingkan ketika tidak ada ikatan sama sekali.
Perubahan arus inilah yang dijadikan para peneliti sebagai indikator keberadaan virus SARS-CoV-2.
Jika diproduksi hanya sekitar Rp 300.000
Baca Juga: Pemprov Telah Tes PCR 120.321 Warga Jakarta
Saya mengontak Edmond pada 7 Mei 2020 untuk bertanya ihwal hal yang belum ada dalam hasil riset yang telah dipublikasikan. Menurut dia, alat ini tidak bisa digunakan berulang kali, dan masih jauh untuk pengembangan berskala industri. Namun, alat ini dapat diproduksi massal dengan harga per satuan berkisar US$20 (sekitar Rp 308.140).
Konsep alat sensor ini juga dapat dikembangkan untuk mendeteksi virus yang sedang berkembang lainnya. Di tengah pandemi COVID-19 yang belum diketahui kapan berakhir, inovasi alat tes yang lebih canggih adalah sebuah keniscayaan.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.
Baca Juga: Inovasi Alat Medis Covid-19, Menristek Beri Dukungan ke Ridwan Kamil