Data Pemilih KPU Dikabarkan Dibajak, Perlukah Mengganti Metodenya?
Pengamat menilai bahwa KPU perlu mengubah tata cara pengumpulan data pemilih.
Suara.com - Pengamat sekuriti dari Vaksincom Alfons Tanujaya berpendapat bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu mengubah beberapa hal guna melindungi data WNI.
Seperti yang telah diketahui, penyelenggara Pemilu di Indonesia itu diduga telah mengalami kebocoran data. Peretas yang mengaku membajak data KPU mengklaim bahwa dirinya mengantongi identitas sekitar 2,3 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu 2014.
Oleh karena itu, Alfons menilai bahwa KPU perlu mengubah tata cara pengumpulan data pemilih.
"Mungkin nanti perlu dipikirkan kalau informasi sensitif seperti nomor NIK dan KK dibatasi angkanya," terang Alfons kepada Suara.com, Jumat (22/5/2020).
Baca Juga: Kasus Dugaan Kebocoran Data DPT oleh Jimbo, DKPP Diminta Copot Komisioner KPU
Meski begitu, lanjut Alfons, beberapa informasi umum memang harus dipertahankan agar selaras dengan peraturan, sekaligus bentuk transparansi pemilihan.
"Informasi lain memang harus diberikan toh, ini kan amanat Undang-Undang bahwa data pemilih harus disebarkan dan dicocokkan, hanya perlu dicari cara yang baik dan aman dalam menyebarkan dan mencocokkannya saja," imbuhnya.
Sedangkan untuk kelanjutan kasus dugaan pembajakan KPU, Alfons mengungkapkan bahwa Indonesia masih belum memiliki aturan yang kompleks.
"Untuk hal ini (peretasan data KPU) diserahkan kepada penegak hukum. Dalam banyak kasus tidak mudah menerapkan pelanggaran di dunia siber yang sifatnya maya dan relatif baru yah. Terkadang tidak tercakup dalam UU yang terkait hukum," tandasnya.