Suara.com - Sepanjang sejarah, kehidupan manusia telah dipengaruhi oleh adanya berbagai macam penyakit menular. Dan tentu, krisis COVID-19 saat ini tidak akan menjadi yang terakhir.
Namun, kita dapat memanfaatkan berbagai ilmu dan pengetahuan yang telah kita dapatkan dari pengalaman manusia dalam bertahan hidup dari berbagai pandemi yang telah tercatat dalam sejarah.
Maka dari itu, saat ini kita dapat mengatasi pandemi global ini dengan lebih baik.
1. Wabah Pes atau Black Death (abad ke-14)
Baca Juga: AS Targetkan Ratusan Juta Dosis Vaksin COVID-19 di Akhir Tahun 2020
Meski wabah penyakit pes (disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis) masih terdapat di beberapa belahan dunia lainnya, berikut adalah 2 pandemi pes yang paling terkenal.
Wabah Yustianius yang terjadi pada 541 Masehi, dan berlangsung selama 200 tahun, telah memusnahkan jutaan jiwa. Wabah ini terjadi dalam beberapa gelombang di Eropa, Afrika Utara, dan Timur Tengah. Wabah ini telah mengganggu ambisi Kekaisaran Romawi untuk berekspansi (namun, beberapa peneliti mengatakan bahwa dampak dari wabah ini telah dilebih-lebihkan).
Setelah itu, muncul juga pandemi pada Abad ke-14, yang lebih terkenal. Pandemi ini kemungkinan muncul pertama kali di Cina, dan telah membinasakan populasi manusia di Asia, Eropa, dan Afrika bagian utara.
Salah satu ‘warisan’ penting dalam bidang kesehatan masyarakat, yaitu konsep dari “karantina”, muncul dari wabah pes Abad ke-14. Kata “karantina” itu sendiri berasal dari istilah dari Venesia, yaitu “quarantena”, yang artinya 40 hari.
Pandemi Black Death pada abad ke-14 diperkirakan telah memicu munculnya berbagai reformasi dalam bidang sosial, ekonomi, kesenian, dan budaya pada era abad pertengahan di Eropa. Hal ini menggambarkan bagaimana pandemi penyakit menular dapat menjadi titik balik utama dalam sejarah, akibat dampaknya yang sangat berpengaruh dan bertahan lama.
Baca Juga: Hindari Covid-19, Jangan Pergi ke 4 Tempat Ini Saat Pembatasan Fisik Dibuka
Sebagai contoh, angka kematian yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya krisis kekurangan tenaga kerja, yang akhirnya akan memicu terjadinya kenaikan upah dan penurunan harga tanah, yang pada akhirnya akan menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik, dan meningkatkan kebebasan bagi rakyat kelas bawah.
Pada saat itu, berbagai otoritas berwenang kehilangan kredibilitasnya, karena dianggap telah gagal dalam melindungi rakyatnya dari berbagai dampak yang luar biasa akibat dari wabah ini. Maka dari itu, sejak era ini, orang-orang mulai mempertanyakan pemahaman-pemahaman kaku mengenai struktur sosial, tradisi, dan kepercayaan/keagamaan.
Hal ini memicu terjadinya berbagai perubahan mendasar dalam interaksi dan pengalaman masyarakat dalam bidang keagamaan, filsafat, dan politik, lalu diikuti oleh periode Renaisans, yang mendorong munculnya paham humanisme dan transformasi intelektual.
Wabah ini juga membawa pengaruh yang besar dalam bidang kesenian dan literatur. Pada saat wabah ini merebak, seni dan sastra banyak menggunakan tema yang pesimistik dan mengerikan.
Hingga saat ini, masih terdapat berbagai ilustrasi kekerasan dan kematian dalam bentuk narasi Alkitab di berbagai tempat ibadah Kristiani di Eropa.
Dampak dari COVID-19 dalam mempengaruhi kebudayaan pada masa kini masih belum diketahui. Namun saat ini, sebagai akibat dari COVID-19, kita telah melihat terjadinya perubahan-perubahan di bidang ekonomi. Beberapa sektor di bidang industri bangkit, namun beberapa beberapa lainnya juga mengalami penurunan. Beberapa bisnis juga tampaknya akan hilang selamanya.
COVID-19 juga memiliki potensi untuk menormalisasi penggunaan teknologi virtual sebagai sarana untuk bersosialisasi, berbisnis, edukasi, kesehatan, keagamaan, dan bahkan sarana pemerintahan.
2. Pandemi Flu Spanyol (1918)
Flu Spanyol yang terjadi pada 1918 (Perang Dunia I) merupakan salah satu pandemi yang paling mematikan dalam sejarah kehidupan manusia. Hal ini karena kompleksnya interaksi antara bagaimana virus penyebab flu ini bekerja, respons imun manusia, dan juga konteks sosial dari penyebaran virus tersebut.
Virus ini muncul ketika dunia sedang dalam masa yang rentan akibat terjadinya Perang Dunia I, yang berlangsung selama 4 tahun. Akibatnya, malnutrisi dan kepadatan penduduk merupakan hal yang umum pada masa itu.
Sekitar 500 juta jiwa terjangkit penyakit ini – sepertiga dari total populasi dunia pada saat itu – dan telah menyebabkan 50-100 juta kematian. Karakteristik unik dari penyakit ini adalah kecenderungannya untuk membunuh orang dewasa berumur 20-40 tahun.
Pada saat itu, penyakit influenza tidak disebabkan virus, melainkan disebabkan oleh bakteri (Haemophilus influenzae). Antibiotik untuk infeksi bakteri sekunder belum ditemukan (baru ditemukan satu dekade kemudian), dan bangsal untuk perawatan intensif yang dilengkapi dengan ventilator mekanik pun juga belum ditemukan.
Kurangnya pemahaman medis dan saintifik mengenai flu pada tahun 1918 menyebabkan flu Spanyol sangat sulit untuk diatasi. Namun, intervensi dalam kesehatan masyarakat, seperti menjalankan karantina, penggunaan masker, dan larangan pertemuan massal, telah membantu meminimalkan penyebaran penyakit pada beberapa daerah. Hal ini dapat dilihat dalam suksesnya penanganan penyakit tuberkulosis, kolera, dan penyakit-penyakit menular lainnya.
Australia mempraktikkan karantina maritim, yang mengharuskan semua kapal yang tiba untuk diperiksa dan ‘dibersihkan’ oleh pejabat karantina pemerintah sebelum para penumpang dan barang bawaannya diturunkan. Hal ini menunda dan mengurangi dampak dari flu Spanyol di Australia. Kepulauan Pasifik pun hanya mengalami dampak sekunder dari flu ini.
Dampak dari karantina maritim ini sangat jelas jika dilihat dari kasus flu Spanyol di Samoa Barat dan Samoa Amerika. Pada saat itu, Samoa Amerika memberlakukan karantina yang sangat ketat–maka dari itu, wilayah ini tidak mencatat satupun kasus kematian akibat flu Spanyol.
Sebaliknya, karena Samoa Barat tidak memberlakukan karantina maritim, 25% dari penduduknya meninggal akibat penyakit ini setelah flu ini dibawa oleh sebuah kapal dari Selandia Baru.
Di beberapa kota, pertemuan massal dilarang, dan berbagai tempat publik ditutup, mulai dari sekolah, gereja, bioskop, hingga tempat berdansa dan tempat bermain billiard.
Di Amerika Serikat, kota-kota yang melakukan pembatasan sosial terlebih dahulu, lebih lama, dan lebih ketat, telah menyelamatkan lebih banyak jiwa dari penyakit ini. Tidak hanya itu, kota-kota tersebut telah terbukti lebih cepat pulih diikuti dengan perekonomian yang lebih kuat dibanding dengan kota-kota yang tidak melakukan kebijakan social distancing.
Pada saat itu, penggunaan masker dan pentingnya membersihkan tangan digalakkan dan dipromosikan. Bahkan, di beberapa kota, kedua hal ini tak hanya dipromosikan, namun juga diimplementasikan.
Di San Fransisco, diadakan sebuah kampanye edukasi publik yang diselenggarakan oleh Red Cross, yang mengharuskan orang-orang untuk menggunakan masker ketika sedang keluar dari rumah.
Di beberapa wilayah, kebijakan-kebijakan ini dilakukan secara ketat oleh para petugas dan polisi, yang memiliki wewenang untuk memberlakukan denda, dan juga terkadang para polisi dan petugas dilengkapi dengan senjata.
3. HIV/AIDS (abad ke-20)
Kasus pertama dari HIV/AIDS di dunia bagian Barat muncul pada 1981.
Sejak saat itu, sekitar 75 juta orang telah terjangkit HIV, dan sekitar 32 juta jiwa orang telah meninggal akibat penyakit ini.
Beberapa pembaca mungkin bisa mengingat betapa kacau dan menakutkannya pandemi HIV/AIDS pada masa-masa awal kemunculannya (dan ketakutan ini masih berlaku di beberapa negara berkembang).
Saat ini, banyak orang telah paham bahwa para pengidap HIV menjalani pengobatan, sangat kecil kemungkinannya untuk mengalami komplikasi penyakit yang serius.
Pengobatan ini dikenal dengan dengan istilah antiretroviral yang dapat menghentikan replikasi dari virus HIV. Hal ini menyebabkan jumlah virus tersebut tidak terdeteksi di darah si pengidap. Beberapa bukti menunjukkan bahwa orang yang viral load-nya atau jumlah virusnya tidak terdeteksi tidak dapat menyebarkan virus HIV kepada orang lain, meskipun melalui hubungan seks.
Kondom dan PPrP (“profilaksis prapajanan”, sebuah pil antiretroviral yang diminum sehari sekali), dapat digunakan untuk orang yang tidak mengidap AIDS untuk mengurangi resiko terjangkit virus HIV.
Sayangnya, pada kasus COVID-19, hingga saat ini, belum ada antivirus yang telah terbukti dapat mencegah dan mengobati penyakit ini, namun berbagai riset sedang dilakukan untuk mencari obat untuk mengatasi penyakit ini.
Pandemi HIV telah mengajarkan kita akan pentingnya kampanye edukasi publik –yang tentunya harus dirancang sebaik mungkin, dan juga pentingnya pelacakan kontak. Tes massal untuk orang-orang yang memiliki potensi terjangkit penyakit ini merupakan hal mendasar yang perlu dilakukan untuk memahami tingkat infeksi dari penyakit ini di masyarakat dan untuk memungkinkan terjadinya intervensi dari individu-individu yang ditargetkan dan juga intervensi di tingkat populasi.
Pandemi HIV juga telah membuktikan bahwa kata-kata dan stigma berperan penting dalam mengatasi sebuah pandemi; orang-orang perlu merasa aman dan didukung untuk melakukan tes, bukannya dikucilkan. Stigmatisasi dan prasangka dapat memicu terjadinya kesalahpahaman, diskriminasi, dan dapat juga menyebabkan orang-orang takut dites.
4. Sindrom Pernapasan Akut Berat (SARS) (2002-2003)
Pandemi COVID-19 merupakan wabah coronavirus yang ketiga dalam dua dekade terakhir.
Wabah pertama terjadi pada 2002, yang muncul dari sebuah spesies kelelawar tapal kuda di Cina. Penyakit ini lalu menyebar ke 29 negara lainnya dan menyebabkan 8.098 kasus terjangkit dan 774 kasus meninggal.
SARS akhirnya diatasi pada Juli 2003. Namun, SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, lebih muda menyebar dibanding dengan SARS coronavirus yang pertama.
Upaya untuk mengatasi SARS pada 2002 hingga 2003 dapat dianggap sebagai ‘latihan’ dalam menghadapi COVID-19. Para peneliti yang risetnya berfokus pada SARS dan MERS (Middle Eastern Respiratory Syndrome (penyakit akibat coronavirus lainnya yang masih menjadi isu di beberapa wilayah) menghasilkan riset-riset penting yang dapat dijadikan sebagai pondasi dalam mencari vaksin untuk mencegah SARS-CoV-2.
Pengetahuan yang diperoleh dari cara mengatasi SARS dapat juga menjadi pedoman untuk mencari obat antivirus untuk mengobati SARS-CoV-2.
SARS juga menekankan akan pentingnya komunikasi dalam masa pandemi, dan pentingnya pembagian informasi secara terang-terangan, jujur, dan tepat waktu.
SARS merupakan katalisator yang memicu terjadi perubahan di Cina. Akibat wabah ini, pemerintah melakukan investasi untuk meningkatkan sistem pengawasan medis, yang memfasilitasi terjadinya pelaporan dan komunikasi secara real-time dari unit gawat darurat langsung ke database pemerintahan pusat mengenai berbagai penyakit menular.
Sistem pengawasan medis tersebut juga dilengkapi oleh Peraturan Kesehatan Internasional, yang mengharuskan pelaporan merebaknya wabah dari suatu penyakit yang tidak biasa dan tidak terduga.
Kemajuan dalam bidang sains, teknologi informasi, dan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya melalui SARS telah membantu kita untuk melakukan isolasi secara cepat, mengurutkan, dan memudahkan pembagian data mengenai SARS-CoV-2 dalam skala global.
Informasi klinis penting yang dibagikan kepada komunitas medis pada masa awal virus ini merebak juga penting dalam mempengaruhi respons pemerintah dan masyarakat terhadap virus ini.
SARS telah menunjukkan seberapa cepat dan komprehensif suatu virus dapat menyebar ke seluruh dunia, apalagi dengan adanya kemudahan melakukan transportasi udara. Peran dari individu yang merupakan “superspreader” juga penting dalam melacak kecepatan penyebaran virus. Superspreader adalah seseorang yang terjangkit virus yang menyebarkan virus tersebut ke banyak orang lainnya.
SARS juga menggarisbawahi pentingnya hubungan yang tak terpisahkan antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan, yang dikenal sebagai “One Health”, yang dapat sarana persilangan kuman antar spesies.
Pelajaran penting yang terlewatkan dari SARS adalah perlunya investasi berkelanjutan dalam melakukan riset mengenai vaksin dan penyakit menular.
Beberapa peneliti penyakit menular terkejut ketika pandemi coronavirus baru muncul. Dunia yang telah mengalami globalisasi, yang ditandai dengan padatnya penduduk–ketika orang-orang dan kota-kota dapat dengan mudah terhubung dengan satu sama lain, dan ketika manusia dan hewan hidup berdekatan, telah menjadi sarana yang memudahkan penyebaran penyakit menular.
Maka dari itu, kita harus selalu siap siaga dalam menghadapi kemunculan pandemi-pandemi lainnya pada masa yang akan datang.
Penting juga bagi kita untuk selalu mengacu pada pelajaran-pelajaran penting yang telah terjadi sebelumnya untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman berikutnya.
Artikel ini sudah tayang di The Conversation.