Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa objek stigma yang dominan dari kedua negara seputar COVID-19 adalah latar belakang seseorang.
Di Malaysia, stigma yang berkaitan dengan ‘latar belakang’ seseorang mencapai 95,8%, sementara sisanya berkaitan dengan ‘karakter negatif’ sebesar 4,2%. Di Indonesia, kami menemukan sebesar 69,3% stigma berkaitan dengan ‘latar belakang’ seseorang, diikuti dengan 28,1% stigma pada ‘karakter’, dan sebesar 2,6% terkait dengan ‘kondisi fisik’.
Konsep stigma memiliki setidaknya lima faktor, yaitu pelabelan, asosiasi negatif, pemisahan, kehilangan status, dan kemampuan mengendalikan.
Faktor pertama, yaitu pelabelan, berkaitan dengan “upaya memberikan label buruk pada kondisi yang terjadi”.
Baca Juga: Eksperimen Uji Kemampuan Nikotin Lawan Covid-19 Digelar Bulan Depan
Selama pandemi COVID-19 di Indonesia dan Malaysia, stigma semacam ini termasuk menggunakan kata-kata “Cina” atau “orang Cina” untuk menggambarkan penyakit tersebut.
Faktor kedua, asosiasi negatif, yakni menggunakan asosiasi negatif untuk menyebut orang yang memiliki penyakit atau bahkan anggota keluarga dari pasien yang terinfeksi dan kasus yang terkonfirmasi.
Faktor ketiga, dimensi pemisahan, terlihat dari adanya upaya memutuskan kontak dengan pasien COVID-19.
Faktor keempat, kehilangan status, menunjukkan situasi saat pasien atau keluarganya kehilangan hak istimewa atau status sosial mereka, termasuk perumahan, pendidikan, pekerjaan, dan perawatan kesehatan akibat terinfeksi COVID-19.
Faktor terakhir, kemampuan mengendalikan. Hal ini terkait dengan kapasitas seseorang untuk mengendalikan situasi guna menghindari kondisi yang tidak baik, termasuk tanggung jawab untuk menghindari dirinya terjangkit COVID-19.
Baca Juga: Ribuan Orang Mendaftar untuk Ditulari Virus Corona Penyebab Covid-19
Di Malaysia, dimensi stigma yang mendominasi faktor terkait dengan kegagalan kelompok agama yang disebut di atas dalam mengendalikan acaranya (83,3%), diikuti oleh faktor ‘pelabelan’ (14,6%), dan ‘pemisahan’ (2,1%).