Suara.com - China mencoba untuk mematenkan Remdesivir yang diduga bisa mengobati virus corona (Covid-19).
Namun, rencana China tersebut langsung mendapatkan respon beragam dari sejumlah pihak. Sebagian diantaranya terang-terangan mengomentari miring terhadap hak paten Remdesvidir.
Tom Tugendhat, Ketua Forreign Affairs Committee di Parlemen Inggirs menilai bahwa rencana China untuk mematenkan Remsvidir terlalu cepat. Ia pun mengajukan diri untuk melakukan investigasi di Negeri Tirai Bambu.
"Sangat jelas, ada banyak sekali yang tidak kita ketahui tentang munculnya penyakit ini dan respon terhadapnya. Kita semua harus mengambi pelajaran dari pandemi ini agar dunia bisa merespons lebih baik di masa depan," kata Tugendhat seperti dilansir laman Daily Mail, Senin (27/4/2020).
Baca Juga: Gawat! Data Uji Vaksin Covid-19 Tersebar secara Online
Di sisi lain, para pemimpin Partai Komunis China menghadapi tuduhan bahwa mereka menutupi data, menghalangi tim kesehatan dari negara luar untuk menyelidiki, membungkam para dokter yang berusaha memperingatkan dunia tentang epidemi, dan menunda mengakui adanya penularan (Covid-19) pada manusia.
Dalam sebuah dokumen internal yang bocor, sifat menular dari virus corona dikonfirmasi oleh Presiden Xi Jinping pada 20 Januari. Namun, setelah pejabat tahu bahwa mereka menghadapi epidemi, mereka menunda untuk memperingatkan publik selama enam hari.
Selanjutnya pada 21 Januari, sebuah paten untuk penggunaan komersial Remdesivir yang semula dibuat oleh perusahaan farmasi Amerika untuk melawan ebola, diajukan di China.
Pengajuan paten ini dibuat oleh Wuhan Institute of Virology, laboratorium biologi yang menyimpan banyak rahasia yang berada di bawah kendali Institut Kedokteran Militer pemerintah China.
Sementara itu, Gilead, pengembang obat berbasis di California, mengaku bahwa mereka mengajukan aplikasi global sendiri untuk penggunaan Remdesivir terhadap virus corona sejak empat tahun lalu.
Baca Juga: Test Kit Covid-19 Kini Tersedia untuk Dokter Hewan
Menurut mereka, negara, perusahaan, dan ilmuwan di seluruh dunia bekerja sama dalam perlombaan untuk menemukan perawatan dan vaksin yang efektif untuk melawan Covid-19.
Nantinya, 'pemenang' yang berhasil menemukan vaksin akan mendapatkan prestise yang sangat besar sekaligus meningkatkan pamor China bahwa karya layak untuk dipuji, bukan dihujat.
Gilead mengatakan bahwa pihaknya mengetahui langkah China tersebut, tetapi tidak memiliki pengaruh terhadap keputusan pihak pemberi paten dan tidak bisa berkomentar karena detail aplikasi yang diajukan China tidak akan dipublikasikan hingga tahun depan.
"Fokus kami saat ini adalah menentukan secara cepat potensi Remdesivir sebagai pengobatan untuk Covid-19 dan mempercepat manufaktur untuk mengantisipasi potensi kebutuhan pasokan di masa depan," ujar juru bicara perusahaan.
Di sisi lain, Remdesivir dinilai 'menjanjikan' oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump setelah muncul laporan bahwa obat itu telah membantu beberapa pasien. Bahkan, ia meminta China untuk memberikan obat itu kepada AS dengan alasan kasih sayang.
Namun karena stok Remdesivir sangat sedikit, maka vaksin tersebut tidak dapat dimasukkan dalam uji coba terbesar dunia tentang kemungkinan perawatan yang dijalankan oleh Universitas Oxford.
Salah satu ahli epidemiologi AS terkemuka mengatakan bahwa Remdesivir menawarkan 'harapan' tetapi 'tidak akan menjadi obat rumahan'.
Tetapi bagi Gilead, studi ini dihentikan karena rendahnya pendaftaran pasien dan mengatakan hasil uji coba utama pemerintah AS akan dirilis bulan depan. Penelitian ini dirancang untuk untik menguji kenampuan Remdesivir dalam mendeteksi tingkat keparahan penyakit.
Profesor Martin Landray, pemimpin studi di Oxford, mengatakan bahwa Remdisivir mungkin akan menjadi pilihan dokter untuk melawan virus, karena mereka belum punya alternatif lain, sehingga ini menjadi solusi untuk meminimalkan angka kematian karena virus corona.
"Tidak mungkin kita akan mendapatkan obat ajaib yang akan melumpuhkan infeksi. Sekalipun Anda menemukan obat yang mengurangi angka kematian hingga seperlima, itu berarti kita bisa menyelamatkan sekitar 4.000 nyawa di Inggris," tandasnya.