- Ilusi kontrol, yaitu keyakinan berlebihan dapat mengendalikan situasi eksternal
- Ilusi superioritas, yaitu keyakinan bahwa seseorang memiliki kelebihan daripada orang kebanyakan,
- Ilusi kemungkinan, yaitu ketika seseorang merasa kecil kemungkinannya dirinya akan mengalami hal negatif–dalam konteks ini yaitu, tertular atau menularkan penyakit.
Bias yang sama akan sangat berbahaya jika dialami oleh pengambil kebijakan, karena akan makin membuat rumit kondisi–bukan hanya di birokrasi pemerintah dan layanan fasilitas kesehatan tapi juga di masyarakat.
Bayangkan seorang presiden, para politikus di sekitar presiden, dan menteri kesehatan dari satu negara mengidap bias optimisme saat menghadapi pandemi. Padahal, mereka pengambil keputusan besar dan penting yang akan mempengaruhi hidup dan matinya puluhan hingga ratusan juta warga negara yang terserang wabah penyakit menular yang ganas seperti COVID-19.
Kementerian Kesehatan, misalnya, dikritik gagap, lamban, dan tidak transparan dalam menangani pandemi coronavirus karena ditengarai terlalu percaya diri setelah Indonesia berhasil mengendalikan wabah flu burung (H5N1) sejak 2003, SARS pada 2003, dan MERS pada 2012. Namun yang tak banyak diketahui, dalam kasus flu burung, korban meninggal terbanyak justru ditemui di Indonesia.
Bias optimisme ini mungkin juga membuat para pengambil kebijakan cenderung mengabaikan peringatan dari para ilmuwan.
Baca Juga: Artis Malaysia Kecam Emak-emak Main Tiktok, Sebut Nggak Tahu Malu
Faktanya, sesuai dengan peringatan para ahli, virus SARS-CoV-19 menyebar sangat cepat dan mengikuti pola pertumbuhan eksponensial, meskipun sebenarnya dapat dicegah kemungkinan terburuknya jika diintervensi sejak dini.
Ekspektasi awam mengenai risiko tertular atau menularkan sangat mungkin tidak realistis, utamanya pada individu dengan literasi numerik yang kurang memadai karena kesulitan memahami logika eksponensial.
Anjuran “berpikir positif” itu kontradiktif dalam konteks mengendalikan pandemi karena memberikan rasa aman yang palsu, lebih-lebih ketika “berpikir positif” menjadi pesan utama anjuran di ruang publik.
Bertindak rasional
Anggapan bahwa berpikir positif dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh sebenarnya tidak sepenuhnya benar.
Baca Juga: Efek Work From Home, Sampah di Jakarta Berkurang 620 Ton per Hari
Riset yang dilakukan di Amerika Serikat dalam setting observasi natural dan percobaan di laboratorium menunjukkan bukti bahwa hubungan positif antara berpikir positif dengan kekebalan tubuh tergantung karakteristik sumber stres yang dihadapi. Ketika menghadapi ancaman yang ringan (langsung, singkat, dan mudah dikontrol), optimisme memang memberikan efek positif pada kekebalan seluler.