Pemerintahan populis sering memiliki pendekatannya yang cenderung “membungkam” sains dan ilmu pengetahuan. Hal ini karena kebijakan berbasis bukti tidak selaras dan sepadan dengan pendekatan pemimpin populis dalam merumuskan kebijakan publik.
Penelitian menunjukan bahwa pemerintah populis cenderung menegasikan dan menyangkal sains terutama dalam isu-isu kompleks, termasuk kesehatan dan lingkungan, karena kepentingan ekonomi dan politik yang mengakar kuat.
Di Indonesia, pemerintah cenderung menghambat suara penelitian dan peneliti dengan tujuan melindungi agenda ekonomi dan politik di atas keselamatan rakyat. Hal ini membuat Jokowi bertentangan dengan suara para ilmuwan.
Dalam pandemi global seperti COVID-19, pemimpin populis seperti Trump terus bimbang untuk mengganti arah, mendengarkan apa kata ilmu pengetahuan, dan merelakan ilmu pengetahuan menuntun keputusan-keputusan krusial pemerintah dalam krisis COVID-19.
Baca Juga: Permenhub Soal Covid-19: Ojek Dibolehkan Bonceng Penumpang
Ketika pemimpin seperti ini akhirnya menyadari masalah sebenarnya, rakyat kemudian dikorbankan dalam kebijakan ekstrem. Karena terlambat membalik arah kebijakan, mereka kemudian akan terjebak pilihan menerapkan kebijakan tangan besi.
Akibat menunda aksi dalam membatasi wabah, pemerintah Italia – yang terbentuk atas koalisi rapuh antara gerakan anti kemapanan Five Star Movement dan Democratic Party (yang kiri-tengah) – menyaksikan kasus kematian meningkat drastis. Italia lalu menerapkan pembatasan maksimum, yang melibatkan polisi and militer.
Merosotnya kepemimpinan AS di tingkat global
Dengan seorang pemimpin populis di pucuk pemerintahan AS, dunia melihat kepemimpinan AS di tingkat global semakin merosot termasuk sektor kesehatan.
Ini tidak seperti yang terlihat pada tahun 2014 ketika krisis Ebola menghantam Afrika Barat. Saat itu kepemimpinan AS di bawah Presiden Barack Obama dianggap berperan sangat penting dalam terhadap respon Ebola dengan alokasi dana 2.4 miliar dolar AS (sekitar Rp 38 triliun); ini sebuah kualitas kepemimpinan yang hilang dari krisis global saat ini.
Baca Juga: Covid-19 Dapat Memengaruhi Jantung, Jaga Kesehatannya dengan Makanan Ini
Baru-baru ini AS mengumumkan paket stimulus sebesar 2 triliun dolar (Rp 32.000 triliun) dalam menyelamatkan ekonomi negeri Paman Sam. Namun pendanaan global untuk Covid-19 melalui Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) cenderung rendah: 37 juta dolar AS. Yang ditakuti kemudian adalah dana ini adalah hasil realokasi dari proyek-proyek penting seperti Global Fund dalam memerangi HIV, TBC, dan malaria.