Suara.com - Pemusnahan kelelawar yang dilakukan pemerintah daerah sebagai bentuk penanganan Covid-19, wabah yang disebabkan virus corona baru Sars-Cov-2, tidak efektif dan berdampak negatif terhadap keseimbangan ekosistem, demikian kata peneliti biosistematika vertebrata dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sigit Wiantoro.
Berdasarkan penelitian, kata Sigit, penularan Covid-19 terjadi antara manusia ke manusia dan mula-mula muncul di Wuhan, China. Virus itu diduga menginfeksi manusia tidak langsung dari kelelawar, tetapi melalui perantara binatang lain.
“Perdagangan satwa liar di Wuhan, Tiongkok yang tidak diregulasi dan sering kali ilegal adalah hal yang menyebabkan kemunculan dan persebaran virus Covid-19,” jelas Sigit dalam rilis yang diterima di Jakarta, Kamis (19/3/2020).
Sebelumnya dikabarkan bahwa Pemerintah Kota Solo, Jawa Tengah telah memusnahkan kelelawar karena untuk menguragi penyebaran virus corona baru yang sedang mewabah.
Upaya pembasmian kelelawar dapat memberikan efek yang berlawanan, karena selain tidak berdampak pada penyebaran penyakit malah bisa menyebabkan perubahan dalam ekosistem.
Dia mengambil contoh bagaimana upaya pembasmian kelelawar di Amerika Selatan sebagai bagian dalam usaha mengontrol rabies tidak membuahkan hasil.
“Justru perubahan ekosistem yang disebabkan oleh manusialah yang menjadi penyebab utama kemunculan penyakit-penyakit yang dapat ditularkan dari satwa liar ke manusia,” kata Sigit.
Salah satu solusi agar tidak terjadi lagi penyebaran zoonosis atau penyakit yang disebabkan oleh hewan adalah tidak mengganggu satwa liar dan merusak habitat alaminya.
Karena kelelawar sebagai pemakan buah memiliki peran penting sebagai penyerbuk bunga dan penyebar biji yang akan tumbuh jadi pohon baru.
Selain itu, kelelawar juga sebagai pemakan serangga yang berperan dalam pengendalian hama pertanian dan pengendali hewan yang berpotensi sebagai vektor penyakit seperti nyamuk. [Antara]