Suara.com - Sejumlah anggota DPR dari Komisi memberikan sejumlah kritik terhadap draf RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dalam pertemuan dengan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny Plate di Jakarta, Selasa (25/2/2020).
Salah satu kritik datang dari anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Gerindra Yan Parmenas Mandenas. Ia menilai RUU PDP yang disusun pemerintah kurang memperhatikan aspek keamanan masyarakat dan rawan disalahgunakan penguasa.
"People security itu menjadi bagian penting yang diperhatikan, bukan saja isu soal national security," kaya Yan usai rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Yan tidak mau data pribadi masyarakat bisa diakses seenaknya oleh negara karena warga negara punya privasi dan hak untuk menjaga data pribadinya masing-masing.
Baca Juga: Menkominfo Sampaikan 5 Prinsip Utama dalam RUU Perlindungan Data Pribadi
Dia menilai elit politik Indonesia sangat rentan sekali mengintervensi negara untuk mengakses data pribadi masyarakat sehingga perlu ada keseimbangan yang diperhatikan dalam draf RUU PDP.
"Jadi negara tidak bisa serta merta mengintervensi data pribadi setiap warga negara Indonesia yang berkepentingan langsung dengan pembangunan maupun dengan konstelasi politik praktis kita di tanah air," ujarnya.
Libatkan lembaga indpenden
Sementara anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai NasDem, Willy Aditya mengusulkan agar dibentuk lembaga penyeimbang yang sifatnya independen terkait data pribadi yang nantinya dimasukan RUU Perlindungan Data Pribadi.
"Saya tegaskan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) bahwa kita perlu lembaga penyeimbang dan independen yang merepresentasikan semua kalangan seperti masyarakat sipil, stakeholder, korporasi dan pemerintah," kata Willy.
Baca Juga: Indonesia Akan Jadi Negara ke-127 yang Punya UU Perlindungan Data Pribadi
Dia mengatakan lembaga penyeimbang itu diharapkan agar implementasi RUU PDP dapat terkontrol sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan pemerintah.
Dia mengatakan ketika data diakses lalu tidak dibatasi untuk kepentingan apa dan oleh siapa, sangat riskan untuk terjadinya abuse of power.
"Nanti lembaga tersebut harus masuk dalam RUU PDP sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari perlindungan data pribadi," ujarnya.
Karena itu menurut Willy, ada usulan dari kelompok masyarakat sipil untuk dibentuk lembaga penyeimbang untuk mengawasi jalannya implementasi UU PDP kedepan.
Willy mengatakan terkait data pribadi harus hati-hati karena urusan negara dengan korporasi dan urusan negara dengan warga negara.
"Banyak kasus negara dengan korporasi dan negara dengan warga negara. Kalau tidak ada batasan hukum yang ketat dan rinci tentang hak warga, sewaktu-waktu negara bisa mengakses apa saja, tidak hanya akun bank namun yang paling parah perilakunya, ini menjadi transparan," tuturnya.
Dia berharap ada batasan yang jelas dalam implementasi UU PDP, misalnya, negara dengan korporasi harus memiliki perjanjian, misalnya, dengan Facebook dan Google karena dua perusahaan itu memegang data pribadi warga agar tidak terjadi penyalahgunaan.
Selain itu menurut dia, jangan sampai menegakkan prinsip kedaulatan data pribadi namun negara menjadi otoriter dan totalitarian sehingga harus diatur secara rinci agar negara tidak menyalahgunakan kewenangannya.
"Kita harus lihat kuasa korporasi sampai mana, dan kuasa negara sejauh mana lalu hak warga negara, RUU ini niatnya untuk lindungi sehingga namanya RUU Perlindungan Data Pribadi," tutup dia. [Antara]