Suara.com - Hak untuk dilupakan (right to be forgotten) masuk dalam draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pengguna (RUU PDP) yang saat ini tengah digodok di DPR RI.
Hanya, poin ini menuai polemik karena berpotensi digunakan untuk menghapus jejak kejahatan yang faktanya sudah terungkap di dunia maya.
Lantas, perlukah poin "hak untuk dilupakan" disahkan untuk menjadi UU PDP?
Terkait masalah ini, pengamat telekomunikasi Nonot Harsono mencoba menguraikannya dari beberapa sudut pandang.
Baca Juga: Jumpa Valentino Rossi: Ajarkan Gaspol sampai Ungkapan Rasa Sayang
"Kalau itu (hak untuk dilupakan) dipakai untuk menghilangkan foto atau video yang sifatnya pribadi, ya boleh-boleh saja. Misalnya, ada orang yang meminta dihapus foto telanjangnya, itu sah saja karena untuk menutupi aib," kata Nonot Harsono di Balai Kartini Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Hanya, poin ini akan menjadi masalah seandainya yang meminta hak right ro be forgotten adalah pihak-pihak yang tersangkut perkara kriminal.
"Tapi kalau misalnya ada pejabat yang sudah terbukti korupsi, terus minta rekam jejaknya dihapus, kan itu salah karena menutupi fakta," lanjutnya.
Ringkasnya, Nonot Harsono menilai poin hak untuk dilupakan bisa saja disahkan menjadi undang-undang asalkan konteksnya tertulis dengan jelas.
"Perlu ada ketentuan dan aturan tambahan yang mengatur konteks apa saja dan siapa saja yang boleh dikenakan hak ini," pungkas lelaki berkacamata tadi.
Baca Juga: Demi Rossi - Vinales, Remaja Putri Ini Tak Tidur Semalaman!