Suara.com - Artificial Inteligence atau kercedasan buatan hingga Machine Learning akan menjadi alat yang makin sering digunakan oleh para peretas dan menjadi ancaman siber potensial di 2020.
Kepala keamanan perusahaan keamanan IntSights, Etay Maor, mengatakan AI bakal marak digunakan untuk melakukan peretasan otomatis dan machine learning dimanfaatkan untuk menciptakan algoritma yang bersifat lebih umum agar bisa mengumpulkan data-data lebih banyak.
"Kami menduga akan ada adopsi AI untuk serangan yang sudah ditargetkan dan akan menyerang secara otomatis,” papar Maor, seperti dikutip dari CNBC pada Selasa (31/12/2019).
Gagasan para peretas tentang program komputer yang menyerang target secara otomatis pun dengan sendirinya akan memperluas basis machine learning-nya menjadi lebih canggih merupakan hal yang menakutkan.
Baca Juga: UMKM Jadi Sasaran Empuk Serangan Siber
Maor melanjutkan, ancaman ini sangat serius karena bisa menyerang sistem ekonomi global. Jika dibandingkan dengan pola serangan pada
tahun-tahun sebelumnya, mereka cenderung merusak atau menghapus situs web dan mencuri informasi kartu kredit.
Namun, serangan itu mahal karena mereka membutuhkan manusia untuk mencurahkan lebih banyak waktu dan sumber daya untuk melakukan aksi tersebut.
Menurut Maor, dengan AI, penyerang dapat melakukan serangan berulang-ulang pada jaringan dengan memprogram beberapa kode untuk melakukan aksi kejahatan siber ini.
Selain peretasan berbasis AI, deepfakes juga menjadi ancaman siber pada 2020. Teknologi ini mampu meningkatkan penyebaran disinformasi. Serangan seperti ini diperkirakan akan menyerang Amerika Serikat, mengingat tahun ini merupakan tahun pemilihan umum di Negeri Paman Sam.
Sebagai informasi, deepfake adalah gambar dan video yang dibuat menggunakan komputer dan perangkat lunak pembelajaran mesin untuk membuatnya tampak nyata, meskipun sebenarnya tidak.
Baca Juga: Waspada! Indonesia Jadi Target Serangan Siber di Bidang Kesehatan
Para ahli memperkirakan bahwa teknologi ini dapat digunakan untuk menyebabkan kebingungan dan menyebarkan disinformasi, terutama dalam konteks politik global, dan mungkin menjadi sangat sulit untuk dideteksi.
“Ini (deepfakes) akan sulit untuk diperangi karena teknologi, sarana, dan infrastruktur menjadi semakin mudah diakses oleh para penyerang,” tutup Maor.